Restorasi adalah cabang yang relatif baru dari ilmu ekologi, yaitu ilmu dan praktek yang diperlukan untuk melakukan pemulihan dan pengembalian suatu ekosistem atau habitat kepada struktur komunitas, komponen alami spesies, atau fungsi alami aslinya (WRI, IUCN, UNEP; 1995). Menurut Permenhut  P.48/Menhut-II/2014,   Pemulihan Ekosistem (PE) didefinisikan sebagai kegiatan pemulihan ekosistem kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, termasuk di dalamnya pemulihan terhadap alam hayatinya sehingga terwujud keseimbangan alam hayati dan ekosistemnya di kawasan tersebut. Masyarakat ekologi restorasi atau Society of Ecological Restoration mengartikan ekologi restorasi sebagai upaya yang disengaja untuk melakukan percepatan pemulihan suatu ekosistem (SERI, 2008).

Di Indonesia kita sudah lama mengenal istilah reboisasi, rehabilitasi, penghijauan, dan reforestasi. Misalnya, pada masa Orde Baru, ada  kebijakan untuk mengumpulkan dana reboisasi di lahan kritis pada Hutan Tanaman Industri (HTI). Sejumlah inisiatif penanaman pohon pun dilakukan, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan atau GN-RHL), gerakan One Man One Tree (Gerakan Penanaman Pohon Satu Orang Satu Pohon), sampai pada tahun 2004, pemerintah juga mengeluarkan Kebijakan Restorasi Ekosistem pertama sebuah upaya untuk memulihkan  kondisi hutan alam di  kawasan hutan  produksi sekaligus meningkatkan fungsi  dan nilai hutan, baik secara ekonomi maupun  ekologis. Selain itu, Restorasi Ekosistem tidak hanya berpusat kepada hutan, namun juga kepada ekosistem pantai dalam hal ini upaya penanaman magrove dan juga perbaikan ekosistem laut dengan pengembangan terumbu karang.

Restorasi mulai digiatkan setelah melihat kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin hari kian parah, Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam. Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Kerusakan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai proses deteriorasi atau penurunan mutu (kemunduran) lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Kerusakan lingkungan hidup memberikan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Pada tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and Change PBB, memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terhadap kemanusiaan.

 

Masalah

Ketika hutan rusak akibat pengalihan fungsi lahan, pertambangan dan berbagai upaya peningkatan ekonomi suatu wilayah, menyebabkan dan makanan utama satwa menjadi langka, satwa terpaksa harus beralih ke alternatif lain yang kurang diinginkan. Titik di mana suatu organisme harus melakukan pergeseran perilaku ini tidak mudah diprediksi. Itu tergantung pada banyak faktor, termasuk kelimpahan relatif masing-masing makanan, potensi biaya yang terkait dengan setiap makanan, dan faktor-faktor lain, seperti risiko paparan predator saat makan.

Griffin dan Brian (2011), menjelaskan bahwa proses penurunan kualitas ekologi akan dipengaruhi oleh kepunahan spesies. Jika suatu spesies menunjukkan tingkat kebutuhan sumber daya yang tinggi, lalu spesies tersebut hilang, demikian juga kapasitas kelompok lain dalam ekosistem untuk menggunakan bagian tertentu dari  sumber daya yang digunakan oleh spesies yang punah. Misalnya, kepunahan spesies rumput yang secara unik dikhususkan untuk menggunakan amonium sebagai sumber nitrogen akan membuat amonium di tanah tidak terpakai. Karena bagian (amonium) dari sumber daya ini tidak akan digunakan, tingkat keseluruhan pertumbuhan baru rumput padang rumput (produksi primer), serta proses terkait seperti penyerapan karbon dioksida dan produksi oksigen, akan berkurang. Sejumlah besar percobaan  menunjukkan bahwa kepunahan spesies, rata-rata, mengurangi tingkat proses ekosistem.

Mamalia kecil pemakan tumbuhan yang bertindak sebagai mangsa akan mempengaruhi ukuran populasi masing-masing. Ketersediaan pangan menjadi  pengendalian untuk mempengaruhi ukuran populasi. Pada tahun-tahun ketika makanan pilihan berlimpah, populasi akan tumbuh. Ketika makanan pilihan langka, organisme harus beralih ke makanan yang kurang diinginkan untuk mencegah kelaparan. Mamalia besar akan tumbuh lebih lambat, bereproduksi lebih sedikit, dan populasi menurun. Ketika populasi hewan kecil memuncak dan persaingan untuk mendapatkan makanan paling kuat, mereka beralih ke kulit kayu sebagai makanan pengganti dan pergeseran perilaku mencari makan ini bertepatan dengan penurunan populasi.

 

Pembahasan

Dalam kurun waktu 2015-2021, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk terus melakukan pemulihan lahan dengan skala besar dengan total area tidak kurang dari 4,69 juta ha pemulihan lahan termasuk gambut dan mangrove. Penanaman dimaksud ditujukan untuk peningkatan produktivitas hutan dan lahan yang terdegradasi.

Restorasi ekosistem laut juga telah dilakukan oleh PT MARSS (2017) dengan memperhatikan ketersediaan karang alami untuk transplantasi. Dimana karang anakan atau bibit adalah karang yang lepas secara alami dari indukan atau karang yang diambil secara terbatas dari indukan (maksimal 10% koloni hidup per tahun). Keanekaragaman karang perlu dimaksimalkan dengan menggabungkan semua spesies

yang tersedia secara lokal dengan harapan nantinya populasi ikan dan satwa laut lainnya akan meningkat sesuai dengan harapan.

Meskipun menurut Hoobs (2007), sangat sulit menentukan kondisi klimaks suatu ekosistem karena tidak ada satu model yang cocok untuk diterapkan pada setiap ekosistem (one model fits all) karena ke-kompleksitas-an di tiap-tiap ekosistem. Sehingga dalam pelaksanaanya, Restorasi akan melewati proses pra-survei sebelum menentukan jenis dan model yang digunakan dalam penanaman.

Selain itu, salah satu upaya menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati telah terlihat lewat telah program restorasi dari Japan International Cooperation Agency (JICA) di Taman Nasional Matalawa pada tahun 2010 dan pada 2013, hasil dari restorasi ini telah mampu menghubungkan areal terfragmentasi di beberapa blok pemulihan ekosistem melalui suksesi alam. Berdasarkan pengukuran langsung di lapangan, diketahui bahwa pada blok Taman Mas, Waimanu dan Tangairi terjadi suksesi alami seluas 78,4 ha. Suksesi alami juga sudah mulai terlihat di areal pemulihan yang ditandai dengan mulai hadirnya spesies endemik di lokasi pemulihan ekosistem, termasuk kakatua jambul jingga (Cacatua Sulphurea Citrinocristata) dan julang sumba (Aceros Everetti).

 

Selanjutnya ada Restorasi Ekosistem Riau (RER). Pertama kali diluncurkan pada 2013, program restorasi dan konservasi di lahan gambut tersebut terbukti berhasil menjaga sekaligus melindungi habitat penting bagi sejumlah flora dan fauna yang dilindungi. RER Progress Report 2018 menyebut 759 spesies—atau 42 lebih banyak ketimbang catatan tahun sebelumnya—teridentifikasi tinggal dan hidup di kawasan RER. Rinciannya: 71 spesies mamalia, 304 spesies burung, 107 spesies amfibi dan reptil, 119 spesies pohon, 69 spesies non-pohon, serta dan 89 spesies ikan.

Pada 2003, kawasan Semenanjung Kampar dinyatakan sebagai Important Bird Area (IBA) atau Kawasan Penting bagi Burung oleh Birdlife International. Saat itu, jumlah burung yang diidentifikasi hanya 128 spesies. Pada tahun 2019, ada 304 spesies yang menggunakan kawasan di Kampar Peninsula sebagai tempat hidup atau persinggahannya. Salah satu spesies yang teridentifikasi adalah burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) yang statusnya rentan punah. Adapun beberapa binatang unik sekaligus ikonik yang berada di kawasan RER antara lain harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis), dan beruk (Macaca nemestrina). Sementara spesies baru yang berhasil terpantau kamera jebak antara lain mentok rimba (Asarcornis scutulata) dan bangau hutan rawa (Ciconia stormi).

Pada 2017, Pemerintah Provinsi Riau juga melaksanakan kegiatan Tugas Pembantuan Restorasi Gambut. Rawa gambut memiliki ketersediaan ikan yang tinggi. Airnya yang asam dan miskin oksigen tidak menjadi hambatan bagi jenis-jenis ikan rawa yang umum disebut dengan black fish untuk hidup dan berkembang biak. Pada 2018, dalam areal pantauan telah ditemukan peningkatan beberapa jenis ikan seperti Ikan toman (Channa sp), tapa (Wallago leeri), betok (Anabas testudineus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), dan sepat rawa (Trichogaster trichopterusi). Ini adalah jenis ikan yang banyak ditemukan di rawa gambut dan merupakan ikan konsumsi (Wahyunto et al., 2004).

Stevens (2010) telah menggambarkan model yang diberi nama Lotka-Volterra dari pengaruh naiknya mangsa terhadap kenaikan populasi predator.

 

Tampilan grafis dari model Lotka-Volterra

 

Populasi predator dan mangsa berputar melalui waktu, karena predator mengurangi jumlah mangsa. Kurangnya sumber daya makanan pada gilirannya mengurangi kelimpahan predator, dan kurangnya tekanan predasi memungkinkan populasi mangsa untuk pulih.

Untuk bertahan hidup dan bereproduksi, individu harus mendapatkan sumber daya makanan yang cukup sambil secara bersamaan menghindari menjadi makanan bagi predator. Peran penghindaran predator dan ketersediaan makanan pada ukuran populasi dan hubungan antara asupan makanan dan penghindaran predator tidak mudah ditangani di lapangan, dan ahli ekologi telah beralih ke model matematika untuk lebih memahami perilaku mencari makan dan dinamika predator-mangsa.

Model Lotka-Volterra menyediakan alat yang berguna untuk membantu ahli ekologi populasi memahami faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika populasi. Mereka telah sangat berguna dalam memahami dan memprediksi siklus populasi predator-mangsa. Meskipun model-model tersebut sangat menyederhanakan kondisi aktual, mereka menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu, populasi predator dan mangsa dapat berasosiasi dari waktu ke waktu dengan cara yang mirip.

 

Kesimpulan

Untuk mengembalikan fungsi kawasan konservasi yang rusak atau menurun kualitasnya, dibutuhkan upaya pemulihan ekosistem. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai strategi, seperti suksesi alam atau mekanisme alam, suksesi alam dengan bantuan manusia, rehabilitasi atau restorasi. Beberapa contoh kegiatan spesifik di dalam pemulihan ekosistem mencakup penanaman pengkayaan, pengendalian jenis asing invasif, pembinaan habitat, serta reintroduksi. Berbagai strategi dan kegiatan pemulihan ekosistem di kawasan konservasi menjadi bagian integral dari upaya restorasi hutan dan bentang lahan, yakni sebuah proses berkelanjutan untuk mengembalikan fungsi ekologis dan meningkatkan penghidupan masyarakat di hutan dan lahan yang telah rusak atau terdegradasi.

Melalui restorasi ekosistem, hutan alam produksi diharapkan akan berfungsi kembali sebagai penyeimbang ekosistem, baik biotik maupun abiotik. Hal ini telah didukung oleh banyaknya keberhasilan dalam pengembalian satwa dan peningkatan populasi untuk pencegahan kepunahan suatu spesies agar tida terjadi ketimpangan dalam pengisian setiap relung ekologi.

 

 

Daftar Pustaka

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau. 2018. Laporan Kinerja Tugas Pembantuan Restorasi Gambut Provinsi Riau.

Griffin, J. N dan Brian R.S. 2011. Resource Partitioning and Why It Matters. Department of Zoology. University of Florida. Nature Education Knowledge Vol 3 No 10 Hal 49

PT. Mars. 2017. Restorasi Ekosistem Terumbu Karang Mengunakan Sistem MARRS (Mars Accelerated Reef Rehabilitation System). Tidak dipublikasikan. Makassar

Stevens, A. 2010. Dynamics of Predation. Nature Education Knowledge Vol 3 No 10 Hal 46

Susmianto, A, dkk. 2017. Belajar dari Lapangan” Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif.  Direktorat Kawasan Konservasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. FORDA PRESS.

WRI,IUCN, UNEP. 1995. a Global Strategy For The Conservation Of Plant Diversity. Jurnal Grana. Vol 34. Hal, 363-366.