Suatu kali ditempat kerjaku sebelumnya, kami mengobrol saat makan siang sambil sembari memberi celetukan-celetukan bercanda. Wajarlah, kekeluargaan disana lebih dari cukup keeratannya.


"Med (panggilan di kantor), liat ini ada tiktokers mirip kayak Memed." Ujar salah seorang teman. Aku dan teman-teman yang sedang makan siang mengarahkan pandangan kelayar hape yang disodorkan. Terlihat salah seorang tiktokers menari dengan enerjik. Gestur dan perawakannya memang mirip dengan ku. Kami pun tertawa bersama melihat itu sambil memperbincangkan kira-kira seperti itulah aku kalau lihai menari. Apa daya, kemampuanku menari mentok di tari saman, itupun karena 3 tahun di SMP terus digempur latihan. hahaha.


Ada yang membuat guyon tingkah petakilanku mirip dengan anak perempuan berkawat gigi yang suka berpantun tidak nyambung.


Berikan aku buku dan tempat bersantai, aku takkan ribut dan melasak :D


Kali lain, ada juga yang heboh men-scroll laman instagramnya demi mencari salah satu konten kreator, pasangan muda yang istrinya juga mirip denganku. Pasangan ini banyak membuat parodi pasangan dan konten viral seperti tarian yang sedang tren pada umumnya. Lagi, komentar kalau aku bisa membuat konten seperti itu dan juga akan terkenal.

Banyak yang mengira aku membuat beberapa sosial media bahkan yang dulu tidak terlalu tren seperti ask.fm dan plurk adalah supaya aku bisa terkenal. Agar orang-orang kenal siapa Mahdiyyah. Kenyataannya, aku tipikal yang suka kepo  aja. Ingin tahunya tinggi, setelah memahami suatu aplikasi baru, apa manfaat dan fitur-fitur yang ditawarkan ya sudah. Syukur-syukur bisa membantu teman yang masih meraba aplikasi itu. Kalau soal konten dan menulis... ya suka-suka aku sih, ini semacam kesenangan tersediri saja. Sisanya, bonus.

Ketika aplikasi-aplikasi yang berbasis video dan juga live streaming seperti Youtube, Bigolive, Musically, mulai booming, entah kenapa aku tidak tertarik masuk kedalamnya untuk mempelajarinya. Padahal, kemampuan belajarku yang baik adalah lewat audiovisual. Aneh ya untuk seeorang yang output belajarnya adalah tulisan? hehe.

Aku membuat akun youtube karena paling mudah mengembed video di blog ya dari youtube. Yang lainnya, aku enggak ada membuat akun.

Sekarang Tiktok sangat popular, hampir semua orang buat akun tiktok. Aku pernah melihat bagaimana fyp tiktok dari salah seorang teman kampus. Waktu itu aku bilang dia cantik dan cocok sebagai talent tiktok. Sial, sekarang aku menyesal memujinya kala itu. Karena dia berubah ke arah yang kurang baik di mataku.

Lalu sebelum bowo dihujat, aku sempat membuat akun tiktok karena baru ganti handphone dan tiktok menjadi salah satu aplikasi bawaannya. Waktu itu aku sekadar penasaran dengan interface aplikasi ini. setelah sudah tau, ya sudah. aku hapus aplikasinya.

Apakah aku tidak percaya diri untuk eksis?

Aku rasa tidak. Untuk mematahkan rasa ragu-ragu karena takut ini sebenarnyanya pilihan atau karena insecure, aku beberapa kali memposting wajah di akun instagramku. Responnya sangat baik. insight yang didapat lebih tinggi dari pada hasil fotografi dan karya digital yang aku buat. Lah, searang aku malah jadi tidak percaya diri dengan karya yang kuhasilkan. selfie ku lebih menjual ternyata. hadeeh.

Tapi kembali ke prinsip-prinsip yang aku pegang. Aku tidak nyaman kalau wajahku berada di gawai oranglain. Aku tidak nyaman dengan pemikiran bisa jadi ada orang asing yang menyimpan wajahku dan menghiasi galeri hp mereka. 

 Apalagi harus membuat video menari-nari. 

Begitulah. Ini soal memberi batasan diri dan tidak FOMO. Buktinya, aku tidak mendownload Tiktok, tidak rajin membuat konten, tidak mengikuti perkembangan algoritma reels instagram aku tidak kenapa-kenapa. Aku masih bisa makan dengan baik, belajar dengan baik, bekerja dengan baik, bersosialisasi dengan baik, tanpa harus menghabiskan waktu scroll scroll timeline yang katanya berisi konten bermanfaat tapi tidak diterapkan dan berdebu dikolom save dan bookmarks.

Hari ini kita terlalu banyak mendapatkan informasi yang tidak kita butuhkan, mengikuti tren, menghabiskan tenaga dan waktu untuk hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan profesi, jurusan, keahlian ataupun investasi masa depan yang berdampak bagi orang banyak.

Karena itu, aku masih belajar untuk terus membuat batasan-batasan untuk asupan yang tidak aku perlukan. Meski aku seorang digital enthusiat, tujuanku bukan disitu. Aku hanya ingin menjadikan akun yang kumiliki dibeberapa platform menjadi salah satu catatan perjalananku sendiri dan kalau ada manfaatnya untuk oranglain, Alhamdulillah.

Sekian.