Suatu hari, aku diundang menjadi pembicara untuk materi climate change. Latar belakangku yang sebenarnya adalah pemerhati satwa, terutama mamalia, sebenarnya tidak terlalu cocok untuk membahas soal perubahan iklim. Meski begitu, perubahan iklim juga berpengaruh besar bagi satwa-satwa yang kuteliti dan amati.  



Saat itu, aku minta brief-nya: apa garis besar yang harus kubicarakan dan apa batasannya. Karena ini acara sekali saja, sering kali panitia menganggap sepele soal pandangan dan mental anak sekolah yang harus disesuaikan. Mereka bilang sudah yakin denganku untuk membawakan materi sesuai visi misi acara mereka.  

Baik, aku menjawab tantangan itu dengan merespons setiap argumen yang dilempar host. Aku menjelaskan apa itu perubahan iklim, penyebabnya, pengaruh dan dampaknya, tanda-tandanya, serta semua hal dasar tentang perubahan iklim.  



Sampai di bagian kesimpulan sebelum tanya jawab, host bertanya, "Apa yang bisa dilakukan anak-anak SMA yang hadir untuk mencegah perubahan iklim?"  

Lalu aku bilang, "Kita tidak bisa mencegahnya."  

Host berusaha membimbingku dengan menyebut upaya mengurangi sampah plastik, kalau jarak dekat sebaiknya tidak naik kendaraan bermotor, dan sebagainya. Ya, aku tahu teorinya. Tapi aku tertawa, mengingat sekolah yang kami datangi ini berada di ujung kota, semuanya jauh. Untuk menuju ke sana saja, aku tidak melihat ada rumah di sekitarnya—hanya ladang sawit yang menghampar luas.  


Kubilang, kalau kita mengurangi sampah plastik, itu untuk diri kita sendiri—agar sekitar rumah tidak banjir karena aliran air tersumbat. Dan kalaupun kita buang sampah pada tempatnya, pada akhirnya sampah itu akan dibakar atau tertumpuk di pembuangan.  Karena materi pencemaran lingkungan dan perubahan iklim adalah dua hal besar yang berbeda meski saling berkesinambungan, seperti hubungan aku sebagai pemerhati satwa dengan perubahan lingkungan juga.


Sialnya masalah sampah plastik, itu hanya sepersekian persen dari penyebab perubahan iklim. Perubahan iklim tidak bisa kita hindari selama perang masih berlangsung, pabrik-pabrik masih mengepulkan asap tanpa filter, dan pertambangan yang mengeksploitasi alam terus dibuka di mana-mana.  


Aku justru mengingatkan mereka—yang kebetulan seluruhnya perempuan karena ini sekolah SMK kecantikan—agar rajin mengaplikasikan sunscreen, memilih kosmetik dengan track record bahan alami, karena kanker kulit mengancam saat ini. Rajin minum air putih dengan membawa tumbler sendiri, dan meminta sekolah atau program OSIS menyediakan dispenser air isi ulang.  

Host terlihat tidak puas. Aku melihat jelas, dia tidak mendapatkan strong point tentang program mereka. Aha, itulah mengapa pemateri dan panitia perlu briefing.  


Keputusasaan 


Aku menyikapi berita-berita akhir-akhir ini. Rasanya aku putus asa, selain sekadar share-share berita. Orang-orang jahat tidak ada habisnya. Israel penghianat, dan pemimpin negara Indonesia ini juga tidak lebih bejat.  

Aku pernah merasakan lemas melihat lahan yang direstorasi, ditanami pohon kembali, di depan mataku sudah terbakar habis. Tidak tahu pelakunya siapa, tidak ingin menduga-duga.  

Hatiku belum sembuh ketika gajah baik dan membantu masyarakat ditemukan mati terbunuh dengan gading hilang. Air mataku masih terus menitik saat mengingat orangutan bernama Hope, yang kedua matanya buta dan sekujur tubuhnya ditemukan bekas tembakan 73 peluru. Anaknya mati karena malnutrisi di pelukan tim rescue.  

Hari-hariku tidak pernah tenang setiap kali melihat berita Palestina. Aku melihat Israel dan para pengusaha tambang serupa. Israel jahannam membuat penduduk Palestina kelaparan di tanah sendiri, rumah mereka direbut, dan kehadiran mereka dianggap mengganggu.  

Israel membuat penduduk Palestina seperti hewan-hewan yang hutannya digusur dan tidak bisa lagi mencari makan di rumah sendiri. Aku melihat orangutan yang kurus kering berjalan lunglai di sekitar area tambang, memelas minta makan dari para pekerja. Lalu aku melihat anak-anak Palestina yang tubuhnya kurus kering, bahkan beberapa kali mereka memakan makanan dari bahan tepung untuk pakan ternak.  

Aku memukul dadaku dan berpikir, jahat sekali aku menyamakan kondisi mereka. Tapi faktanya begitu. Aku tidak tahu mendefinisikan betapa jahatnya manusia yang membuat manusia lain tersiksa seperti hewan yang tersiksa. Melihat hewan saja aku sudah sedih bukan kepalang, apalagi menyaksikan informasi penduduk Palestina yang gugur...  

 

Kondisiku tidak baik-baik saja. Jika mentalku dianggap lemah, iya, aku sedang dalam fase sangat lemah karena tidak melihat dunia akan membaik, sementara aku baik-baik saja di sini.  

Aku takut tidak menjadi bagian dari mereka yang diberi ujian begitu besarnya. Kalau mau berbuat, aku harus apa? Selain mentalku yang lemah, hatiku juga tidak kalah lemah saat orang-orang berkomentar tentang apa yang kukerjakan. "Buat apa begini? Buat apa begitu?"

Aku masih mencari cara—bagaimana tetap waras di dunia yang semakin tak waras, bagaimana tetap punya harapan ketika bukti-bukti kehancuran ada di mana-mana. Mungkin jawabannya sederhana: terus melihat, terus merasakan, dan tidak berhenti peduli—meski yang bisa kita lakukan hanya sekadar membawa tumbler, memilih sunscreen yang ramah lingkungan, atau berbagi cerita seperti ini.

Diam adalah persetujuan. Dan keputusasaan yang dirasakan? ah mungkin itu bukti bahwa kita masih manusia.

Karena yang paling berbahaya bukanlah orang jahat, tapi orang baik yang memilih tidak pedul