Ada satu bioskop di kotaku yang tidak dibolehkan Ayah untuk aku kunjungi. Dan aku tidak pernah mengunjunginya sampai sekarang, sampai seusia saat ini. Meskipun pernah ada ajakan dari temanku untuk ke bioskop itu karena harganya lebih murah, aku sampaikan kalau ayahku takkan mengasih izin. Syukurnya teman-temanku tidak meninggalkanku dan juga manut kami tak kan mekasa pergi kesana. Mending ke kota sebelah jika ingin harga murah. Saat aku bertanya alasannya, Ayah mengatakan bawa di bioskop yang itu kita bisa di'culik' sama om-om. Atau ditawari narkoba, atau tempat duduknya diberi suntikan bekas HIV. Oke, itu sudah cukup menakutkan.

Tapi, ini ceritaku dan teman-temanku saja. Tentu saja disana tetap ada anak sekolahan yang pergi ke bioskop itu. Terlepas benar tidaknya cerita Ayah, aku percaya itu adalah cara untuk melindungi anak-anaknya.

Lantas, di usiaku saat ini, saat teman-temanku sudah pada mulai punya anak yang beranjak masuk TK, aku pun juga merasa seperti ibu-ibu yang khawatir dengan generasi berikutnya meski aku belum menikah. Kekhawatiran itu muncul saat melakoni hal-hal yang membuatku senang.

Aku suka baca. Komik, novel, dan semakin dewasa aku juga melahap buku tipe non-fiksi. Aku juga membaca banyak artikel populer.  Juga suka menonton film dan series meski tidak secandu membaca. Dulu dibawah tahun 2010, aksesnya masih sangat mampu untuk diawasi. Ayah dan ibu pasti tau buku apa yang aku beli, meski tak tau buku apa yang aku baca di toko buku. Ayah dan ibu pasti juga tau film apa yang aku tonton dan vcd bajakan yang dibeli kakakku. Artikel di koran juga aku hanya membaca koran hari sabtu dan minggu, di kolom khusus untuk anak-anak. Video game dan lainnya hanya bisa dimainkan di televisi utama, semua lebih mudah terpantau.

Kini, aku bisa membaca komik, buku, main game, nonton film, semuanya melalui handphone dan laptop. Jika aku menyelesaikan aktivitasku dan menekan tombol delete history untuk 24 jam terakhir, tinggal aku dan Tuhan saja yang tau. 

Sampai ketika aku mendapati sepupuku yang masih SMA juga membaca komik secara online. Aku bertanya komik apa yang sedang ia baca, dan cukup terkejut bahwa seluruhnya adalah komik rating dewasa. Aku yakin sepertinya tidak akan ada pembaca blogku yang berusia di bawah 21 tahun saat membaca ini. Maka aku tidak akan mensensor apapun karena menurutku usia 20 keatas sudah bisa mempertanggungjawabkan tindaktanduknya sendiri setelah membaca tulisan ini. Kalau dulu, ada beberapa kata kunci yang akan memuat konten-konten tidak baik. Seperti daun muda dan sejenisnya (jujur aku lupa). Kalau sekarang, kata kunci untuk mendapatkan konten mengarah ke ponografi seperti itu tidak lagi 'hentai' atau 'ecchi', sekarang ada kategori smut, mature dan matrials arts. Isi gambar-gambarnya sangat explicit, bahkan membuatku yang sudah dewasa saja sering memblokir kata kunci ini. Dan tidak perlu memberikan pernyataan atau pertanyaan mengenai batas usia yang tidak ada gunanya itu untuk mengakses laman tersebut.

Hebatnya lagi, hal-hal yang menjurus ke pornografi ini juga merambah ke website legal dibawah pengawasan yang berwewenang juga. Katakan saja webtoon yang semakin banyak menerbitkan manhwa dengan sensor nyaris 50% dari panel aslinya. Dan ini membuat pembacayang penasaran dengan cerita yang melompat-lompat akan beralih ke webiste lain untuk melihat cerita utuhnya.

Itu masih webiste-website yang diakses dengan alam sadar. Harapannya, anak-anak yang sudah dibekali oleh orangtua untuk tidak mengakses hal-hal yang belum sesuai umurnya bisa menjaga dirinya sendiri. Nah, gimana dengan yang disuguhkan di depan mata tanpa dicari? Aku membicarakan sosial media sekarang. Artis-artis dengan mudah menujukkan gestur sesksual, menujukkan perilaku yang dilakukan oleh suami istri di sosial media pribadi mereka yang kebanyakan diikuti anak-anak yang berharap giveaway. Atau media sosial X yang dulu namanya Twitter, kalau ada isu baru mengenai video porno artis, pasti tanpa dicari juga muncul di beranda kita kalau sial. Masalahnya itu tidak bisa di filter menggunakan kata kunci. Kolom fyp di sajikan berdasarkan stream konten yang tinggi saat itu.

Bermain video game juga tak kalah mengerikan. Bahasa-bahasa kasar digunakan sebagai bahasa gaul. Hari ini, semua anak-anak diberi handphone yang dapat terhubung ke internet 24 jam. Disuguhi video-video pendek yang membuat anak-anak tidak berpikir. Semua konten masuk begitu saja secara visual. Orangutanya sedang sibuk mempertahanakan dapur agar tetap berasap, atau bersaing dengan tetangga yang baru beli kulkas.

Aku sampai terkejut ketika reprensetasi dalam kepala sepupuku ketika aku mengatakan posisi pewe atau artinya posisi weunak yang dimaksudkan kita sudah dalam posisi nyaman dan malas bergerak kalau disuruh melakukan sesuatu, didalam kepalanya memiliki arti lain. Kenapa aku tau, karena dia menunjukkan gestur terkejut saat mendengar itu. Aku bertanya, apa artinya rupanya? ternyata dalam pergaulannya, posisi pewe ya digunakan saat orang sedang berhubungan dan mencapai posisi pewe. Aku bilang, ganti sirkel pertemananmu.

Hari ini semuanya mudah diakses, bahasa-bahasa juga semakin sulit dimengerti maknannya. Aku tidak mengerti kenapa ada banyak makna yang bergeser saat ini. Kadang aku mencoba mengikuti tapi merasa seperti membuang-buang waktu, tapi disisi lain aku juga ingin mengerti apa yang sedang tren dikalangan anak-anak sekolah jaman sekarang. Entah apa gunanya bagiku yang belum berkeluarga dan tidak berkiprah di dunia sekolahan ini, aku juga tidak tau.

Sudah gitu aja, lagi pengen nulis ini.