Balada Tano Batak, Peninggalan Alam dan Budaya Leluhur yang Terancam Musnah - Tano batak yang dimiliki oleh sebagian besar suku batak di daerah danau toba sudah ada sejak tahun 1800-an. Adat yang sudah terbentuk sejak dahulu kala selalu berdampingan dengan keseimbangan ekologi.

Salah satu ritual sebelum mengambil kemenyan


Sejak dulu pohon Hariara (Ficus sp.) yang dipercaya sebagai pohon kehidupan bagi suku batak selalu ditanam setiap kali mereka membuka huta (sebutan kampung dalam bahasa Batak Toba) untuk menandakan bahwa lokasi itu layak untuk ditinggali. Untuk menompang hidup, para leluhur menemukan Hamijon atau pohon Kemenyan (Styrax paralleloneurum) yang banyak tersebar disekitar tempat tinggal mereka dan menjadi mata pencaharian bagi keturunannya sampai saat ini.

Hasil kemenyan dapat dimanfaatkan dalam banyak hal


Selain Kemenyan, masyarakat suku batak juga menanam dan mengembangkan beberapa jenis tanaman seperti bambu (Bambusa sp.), rudang (Bauhinia purpurea), dan beberapa spesies pohon endemik sebagai pendukung ritual mereka. Para perempuan yang mengambil air dari kawasan hutan dan minyak pohon kemenyan untuk ritual tradisional dalam menyambut kelahiran bayi

Sejak awal masuknya perusahaan, masyarakat mulai mengalami banyak gangguan akibat air yang tercemar dan kebutuhan kemenyan yang berkurang. Ditambah lagi dengan sumber air yang berasal dari mata air sakral, menjadi sungai dan menjadi tempat tinggal ikan pora-pora (Mystacoleucus padangensis).

Sayangnya, saat ini ikan pora-pora sudah sulit ditemukan karena aliran sungai tersebut sudah tercemar oleh limbah produksi pabrik milik PT Inti Indorayon Utama (Wacthdoc, 2021)

Keberadaan PT Inti Indorayon Utama di daerah Porsea, Sumatera Utara yang kini namanya berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah berdiri sejak tahun 1983. Sejak saat itu perlahan beberapa kawasan di sekitar hutan adat diubah izinnya menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Keputusan Menteri tahun 1992. Hutan dibuka dan ditanami dengan pohon Ekaliptus.

Pemanfaatan Ekaliptus oleh TPL digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kertas (pulp) dimana kegiatan usaha industri pulp didukung dengan bahan kimia seperti klorindioksida, klorin, asam klorida, kostik, nitrogen, oksigen, dan sulfur dioksida, dimana hasil dari produksi tersebut menghasilkan limbah yang belum terproses secara sempurna dilansir dari informasi masyarakat.

Selain itu, terdapat beberapa dampak buruk yang ditinjau dari sisi ekologi akibat invasi spesies dari tanaman industri ekaliptus ini Tipe benih pohon ekaliptus jauh lebih mudah tumbuh dibandingkan Kemenyan. Kedua karakter tumbuhan ini menjadikan kedua koloni hutan ini tidak bisa berdampingan dimana hutan ekaplitus akan semakin cepat berkembang baik secara tidak langsung ataupun secara langsung dari bantuan tangan manusia, sementara masyarakat yang ingin menanam kembali Kemenyan menjadi terkendala karena tipe tanaman ini membutuhkan pohon peneduh/naungan saat akan tumbuh. Sedangkan karakter pohon ekaliptus sering menjatuhkan dahan saat mereka tumbuh. Sehingga hutan ekaliptus penuh dengan dahan yang mati dan menutupi permukaan tanah dan memperkecil kemungkinan tumbuhnya bibit pohon lain dan tumbuhan tingkat bawah. Ekaliptus juga menyerap banyak air dari tanah melalui proses transpirasi.

Dibandingkan ekaliptus, tanaman kemenyan lebih profit dikembangkan untuk tanaman hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, rehabilitasi, sekat baker, penghara industri pulp, maupun untuk pohon ornamen. Selain itu kayunya dapat digunakan untuk bangunan rumah dan jembatan serta akarnya mengandung cairan berwarna kemerah-merahan yang berfungsi sebagai insektisida.

kasus ini diangkat wacthdoc menjadi dokumenter


Dalam kasus ini dibutuhkan batas yang jelas antara wilayah HTI dengan hutan adat yang didominansi oleh Kemenyan. Bisa dengan kebijakan pembuatan batas wilayah dengan pemanfaatan tebing. Sedangkan untuk pencemaran air, masyarakat bisa mengkonsentrasikan penanaman bambu juga jenis-jenis tanaman endemik lain yang memiliki fungsi fitoremidiasi sebagai upaya penjernihan air dari logam-logam berat akibat limbah. Tentu kebijakan ini akan bisa terwujud atas peran tegas pemerintahan dan kebijaksanaan dari TPL untuk lebih memperhatikan pengelolaan limbah dan berhenti membuka lahan baru. Penulis : Mahdiyyah Ardhina/Mahasiswa Pascasarjana Biologi Universitas Sumatera Utara