(Eceknya disini ada gambar pembuka, tapi ntar aja ditaroh kalau niat)

“...men saja tak perlu lagi disiram pasir batu.” Sayup kudengar suara pak wono sedang mengobrol dnegan bapak-bapak lainnya. Hari ini pondok kami cukup ramai.
“Apa enggak besar kali itu biayanya pak? Butuh berapa ratus sak itu?” timpal yang lainnya. Aku beranjak turun, berniat mendnegarkan obrolan ini.

“Adanya sebenarnya dana itu, cuma kalau sudah bagus semua lama la lagi alasan untuk mintak dana lagi.”

“Mending kades disini begitu, kades-kades yang lain banyak itu yang korup ya pak.”

“Apalah kita yang kecil-kecil ini. Menteri sosial aja korup dana covid kok.” Ah, masuk sudah pembicaraan ini. Korupsi yang sudah merajela dan seolah tak mengejutkan lagi memang. Namun untuk kasus korup yang satu ini, terlalu menyayat hati. Dana bantuan sosial, untuk rakyat yang bahkan upah kerja harian mereka ada yang 2-3 ribu perhari dan menjadi sama sekali tidak memiliki pendapatan karena pandemi. Dan dikorupsi oleh orang-orang yang masih bisa makan daging lengkap dengan susu setiap harinya. Empat sehat lima sempurna lewat malah. Aku mulai meringis sinis begitu masuk topik ini.

“Berapa itu yang dikorupsinya? Milyar-milyar kan ya?”

“Kudengar sampai 5 milyar itu?”

“Punya duit segitu, gak akan kerja-kerja lagi aku.”

Statment terakhir dari salah satu peserta diskusi kopi ini -- begitu aku menyebutnya karena percapakan sejenis ini akan elalu muncul ketika kopi dan rokok sudah tersaji dan siap dinikmati -- membuatku jengah dan meninggalkan lingkaran itu. Tidak apa, cukup menyetor wajah sebentar sudah menunjukkan ramah tamah ku, bukan?
 
Aku jengah karena menangkap beginilah doktrin yang terbangun pada rakyat kecil di negeri ini. Sering kali ditanya. Hidup untuk makan atau makan untuk hidup. Mereka akan menjawab makan untuk hidup. Mengisi energi untuk berkarya, belajar, mengeksplorasi dunia. Pada kenyataannya di dunia kerja semua menjadi hidup untuk makan. Waktu, tenaga semuanya untuk mencari uang. Uang yang dipakai untuk makan. Sederhananya begitu. Hanya segelintir kecil yang tetap memegang teguh bahwa apa yang dia makan semoga berkah dalam mengerjakan setiap karya-karya dirinya didunia fana ini.
 
Sebenarnya apa yang manusia cari sehingga bisa menjadi begitu tamak pada harta. Jika sifat ini muncul pada si miskin, wajar. Kita dituntut untuk hidup berkecukupan, karena saat didalam kekurangan manusia akan semakin dekat dengan kekufuran. Lalu pada sikaya yang sudah memiliki segalanya mereka bersaing dengan sikaya lainnya. Nyatalah sudah lirik lagu yang cukup terkenal “sikaya makin kaya~”
 
Tulisan-tulisan ku masih belum bisa menemukan solusi-solusi untuk apa yang terjadi pada pola pikir dan pendidikan di negeri yang miskin literasi ini. Untuk mengkritisi pun rasanya masih terlalu dini. Dimana auman kerasku kala masih SMP? Aku bukanlah Sintong Tinggal dalam Novel karangan Tere liye si penulis handal yang opininya begitu mudah menembus koran nasional di umurnya ke duapuluh empat.
 
Tapi aku akan terus tetap menulis, menyampaikan pandangan-pandangan awam ku. Mempertanyakan moral etika yang aku pelajari di mata pelajaran PPkn saat di sekolah dasar dahulu. Moral etika yang tidak tertulis, disampaikan turun temurun oleh para orangtua. Dimana hari ini, orangtua sibuk sendir dengan gawai mereka. Tentu tak buang dengan anak-anak hari ini yang lebih lincah lagi berselancar didunia maya. Semakin tidak tau malu semakin viral, semakin viral semakin besar peluang mendapatkan uang. Selama itu menghasilkan uang maka itu disebut karya. Selama itu banyak yang menikmati karyanya, maka tak boleh ada yang menghentikannya.
 
Aku hanya meringis kecil ketika ibuku bilang bahwa generasiku sussah sekali dibilangin, kalau dulu hanya dipelototi saja sudah mengerti salahya apa. Sementara anak jaman sekarang bisa-bisa orangtuanya di pelototi balik, menuntut penjelasan apa kesalahan yang ia lakukan. Sudah dijelasin juga masih ngeyel. Yah gimana, disuruh baca syarat dan ketentuan saat menguduh sebuah aplikasi saja malas, apalagi memahami isinya.
 
Generasi Instan. Ingin semua hal Instan.