Kali ini aku akan menulis kisah yang bersambung karena yang akan kuceritakan dalam postingan ku kali ini bukan kisah yang akan selesai dalam satu kali tulisan dan bukan juga bisa di potong sebahagian. Sejak aku memulai menulis ini, endingnya belum ada. akankah segera ku akhiri? tentu tidak, ini adalah sebuah perjalanan terbaik dalam hidupku untuk belajar. Karena kota, sudah membosankan!

Ini bukan pertama kali aku menginjak hutan Leuser. Taman Nasional Gunung Leuser yang di buku-buku di ceritakan adalah hutan rimba padat pohon dengan beraneka satwa liar hidup bahagia dan rantai makanan bekerja dengan baik dalam hutan ini. Salah satu Taman Nasional terbaik di Indonesia, katanya. Sebagai anak Biologi, kami sudah sering menjajal hutan Primer. Hanya 2-3 hari untuk mengumpulkan data dan melihat jenis hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya dengan berbagai metode sesuai dengan apa yang dipelajari.

Untuk tulisan pertama ini aku tidak tau apa ini akan menjadi tulisan yang menarik atau tidak, karena ini hanya kisah yang aku jalani, fakta dilapang dan opini pribadi dariku. Baru kali ini aku ragu untuk memulai satu tulisan. Sudah lebih 3 minggu aku ingin memulainya tapi ya itu ya ampun banyak sekali pertimbangan seperti apa aku akan mengeksekusinya. Hanya cerita indah atau ini akan jadi tulisan yang mengkritisi pelbagai hal.

Baiklah, akan aku mulai. 

Akhir Juni 2019, sebuah pengumuman dari NGO menyatakan bahwa aku salah satu orang yang lolos untuk magang kerja. Kami yang lolos tidak disatukan dalam satu divisi bahkan dalam satu NGO saja. kami dipecah dan dipencar. Sewaktu aku mengajukan pilihan ketika mengikuti pelatihan yang diadakan oleh NGO ini, aku memilih divisi Restorasi. Kenapa? karena pekerjaanku saat dulu PKL juga soal ini, restorasi. 

Alhamdulillah, aku tidak terombang-ambing cukup lama. Aku di dalam divisi yang diinginkan dan ditempatkan di NGO yang melaksanakan kegiatan. Tak ada keraguan maupun ketakutakan ketika aku menerima tanggung jawab ini. Sementara teman yang lain mendapatkan posisi yang berbeda dari yang mereka inta dan bahkan ditempatkan di NGO yang lebih menantang dari yang aku dapatkan. Suasana yang sangat merangkul, rasa kekeluargaan, fasilitas yang nyaman seluruhnya aku dapatkan disini. 

Lalu misi pertama dimulai saat dipenghujung Juli. Misi pertama kembali membelah hutan Leuser. Lokasi yang dituju adalah tempat PKL ku dulu. 2017, lokasi ini adalah sebuah lahan tandus dengan bekas tunggul-tunggul sawit yang baru ditebang. Gersang, panas. Kerjaku maskeran setiap hari saking takutnya pulang-pulang PKL muka terkelupas iritasi parah saking panasnya. 

Itu cerita 2 tahun lalu. Sekarang, wilayah ini sudah menuju hutan sekunder. Hutan yang baru tumbuh. Tanaman-tanaman perintis tumbuh dengan padat dan subur di sekitar pondok. Pakde, Rendi, Yoga dan Pendi adalah pahlawan dibalik beberapa hektar hutan sekunder yang dulunya adalah bekas rambahan sawit oleh beberapa perusahaan dan sebahagian dirambah oleh warga yang mencoba mengais-ngais rejeki dari tanah yang katanya tanah syurga kalau kata koes plus. Sedih mendengar cerita para warga yang mata pencariannya di rampas di tanah air nya sendiri? yup, disinilah kelemahan antara orang yang berpendidikan dan berpangkat dengan hanya yang sepanjang hidupnya hanya berladang tanpa paham status tanah yang sedang di tanaminya. Yah...meski kadang-kadang ada yang tau tapi pura -pura tidak tau hehe.

Kami ke cinta raja hari senin, tanggal berapa ya? Yang pasti aku terlambat datang ke kantor dan disambut manajer konservasi yang mengeluh dengan keterlambatanku. "Datang juga akhirnya, lambat kali" dengan nada santai tapi tetap dengan ekspresi yang tetap aku kurang paham (?) Intinya, aku memang harus mengubah keras bad habit ku satu ini.
Kami bertiga pun di brief sebelum berangkat. Setelah paham betul tugas pertama ku, brief pun di tutup dengan;

"Kalian berangkatnya pakai grab aja ya" kata si abang.

"Grab bang?" Tanya ku memastikan.

"Iya" jawabnya santai dan yakin.

"Grab bang? Ke cinta raja?" Ulangku memastikan
salah satu senior yang sudah selesai magang tertawa diikuti si abang. Ternyata naik grab ke pangkalan bus menuju kesana. Mana ku tau. Aku kan anak kota banget yang taunya naik kendaraan pribadi dan angkutan online.

Syukurlah kami tidak jadi pakai grab. Kami diantar supir kantor sampai pangkalan. Sekitar satu jam menunggu, kami pun berangkat dengan beberapa orang penumpang lainnya. Mungkin sekitar 8 orang kami termasuk supir. Tak lama bergerak, seorang ibu dengan jilbab dan cadar berbahan kaus putih dengam baju daster batik lengan pendek naik dan duduk disebelahku. Beruntung aku, bisa tidur nyenyak tanpa khawatir. Waspada tetap dong.

Penumpang naik turun silih berganti. Oh, ternyata bus ini sama seperti angkutan umum lainnya hanya saja jarak jauh. Aku pikir seperti paradep. Padahal aku sudah bangga sekali pandai naik paradep sendirian.

Masuk ke daerah simpang menuju lokasi, penumpang sudah mulai sepi. Digantikan segerombolan anak berseragam smp dan sma yang telah menunggu di salah satu kantin. Mereka masuk dengan ceria. Saling bercengkrama dengan anak-anak lainnya. Tentu aku suka atmosfer seperti ini. Perlahan, mereka turun satu persatu. Aku kira rumah mereka berdekatan makanya bisa seakrab itu. Ternyata tidak, cukup jauh jaraknya. Apalagi dengan sekolahnya tadi, sungguh jauh sekali. Jam berapa mereka setiap pagi pergi sekolah ya?

Sehabis anak sekolah terakhir turun, masuk lagi keanehan lain yang tak dapat kutemukan setiap hari. Penumpang kami bernama bibit pohon, tepatnya pohon cendana. Kemana ia mendarat tidak tahu, kami lebih dulu turun di titi mangga yang tak kutemukan pohon mangga ketika kami turun. Eh, tapi katanya ada ding. satu dua pokok.

Celingak celinguk sebentar mencari jemputan kami. Dua lelaki sok tampan pura-pura tak mengenal kami duduk di kursi santai salah satu rumah makan. Yoga dan rendi. Rendi baru berulang tahun bulan ini. Dengan ringan tangan dan mungkin terpaksa mentraktir kami makan.

Tak lama datang satu lagi pemuda yang akan mengantar kami masuk kedalam. 3 motor dengan masing-masing boncengannya pun masuk menuju kedalam perkebunan sawit. Nyaris 1 jam setengah kami diguncang oleh batu-batu bergerak di jalanan tanah kuning kemerahan. Dalam sekejap, perubahan suhu yang drastis terasa saat telah melewati papan larangan dilarang masuk karena telah masuk kawasan taman nasional.

Akupun turun dari boncengan. Menapak, menjejak kembali wilayah Leuser dengan tujuan dan niat yang sama dengan dua tahun lalu. Langkah kembali dimulai dalam leuser.