Akhir-akhir ini perilaku konsumtif masyarakat semakin ganas saja. Saling bersaing mengumpulkan harta untuk memenuhi kebutuhan tersier untuk eksistensi pergaulannya.

Akhir-akhir ini semua sibuk mengeksplorasi keindahan negeri. Katanya untuk mengenalkan wisata daerah sendiri. Padahal malah membuat rusak dan menghilangkan kealamian tempat indah tersebut.

Akhir-akhir ini wacana agama mulai di abaikan. Seakan-akan tidak ada lagi kehidupan setelah dunia ini. Tak ada lagi tahapan manusia setelah dunia ini. Kalau sudah mati ya sudah.

Akhir-akhir ini semua berlomba-lomba memiliki wawasan paling luas. Sekolah semakin gencar mengembangkan kecerdasan terpendam setiap insan dan menutup rapat celah santapan rohani.

Akhir-akhir ini tak ada yang perduli dengan dosa karena tidak terlihat.

Akhir-akhir ada juga orang yang mulai berubah. Bertaubat. Katanya. Supaya masuk surga. Semudah itu. Kah?

Akhir-akhir ini banyak yang bertanya “Tuhan, Dimana?”

Tak ada yang sadar upaya kaum kapitalisme yang bukan hanya menggemborkan setiap teknologi baru yang di klaim paling mutakhir. Berbondong-bondong setiap orang mengejar gadget teranyar. Bukan membeli sesuai budget yang di miliki, namun berusaha keras mengejar materi untuk mendapatkan apa yang sedang diincar juga oleh banyak orang. Kebutuhan tersier ini seakan-akan menjadi barang wajib jika ingin di terima di dunia individualis ini.

Barang-barang itu katanya untuk mendukung pelbagai kegiatan positif anak-anak muda atau pun manusia yang merasa masih anak muda sampai-sampai anak yang kecil merasa muda ikut-ikutan meminta kebutuhan ini. Kegiatan positif katanya. Mengeksplorasi alam. Menjelajah kawasan-kawasan yang sebelumnya indah karena terlindungi oleh hambatan alam namun sekarang bisa di tempuh dengan upaya berbagai kendaraan. Sampai di sana mengabadikan diri dan menyatakan saya sudah pernah kesana kesini kesitu kemana-mana.

Coba saja minta ceritakan dengan detail sejarah dari tempat yang di katakan sebagi tempat wisata itu. Sejarah apa? Bukannya mengambil ilmu tapi lebih banyak meninggalkan jejak. Sampah. Menyedihkan ketika malah mencibir orang-orang kecil yang berusaha mengembalikan keindahan tempat tinggalnya yang di jajah oleh orang-orang yang haus akan eksistensi menaklukan medan terjal.

Kehidupan manusia akhir jaman mulai banyak sia-sia karena mengejar materi dan eksistensi. Kadang sholat pun di jamak dengan alasan berpergian atau malah sekalian tidak sholat. Berkemah bersama, menginap menjadikan hubungan yang berlebihan antara non-muhrim dinyatakan sebagai rasa saling melindungi atas nama persahabatan.

Saat masih muda belum menjelajah dunia ini akan menyesal saat tua katanya. Entah kata siapa yang mencetuskan hal itu. Seakan-akan urusan akhirat tidak masuk daftar list dari proses kehidupan. Apakah banyak yang telah lupa bahwa dunia adalah tempat persinggahan. Kematian di dunia adalah batas mengumpulkan tabungan untuk membeli tiket ke tempat yang kita tuju. Apakah kita menabung untuk tiket ke neraka atau tiket ke syurga.

Dunia pendidikan pun tak luput dari urusan duniawi ini. Tempat mengenyam pendidikan yang berbasis agama pun turut mengdepakan anak didiknya untuk dapat menguasai seluruh hal baru yang ada di dunia. Perlahan, mata pelajaran tentang agama sedikit demi sedikit mulai di hilangkan. Katanya terlalu berat memperlajari dan menghapal kitab suci untuk anak-anak. Anak-anak jangan di bebankan. Katanya. Lagi.

Dosa entah bahasa dari mana itu. Hanya menakut-nakuti jiwa seseorang yang ingin bebas dan berpetualangan. Kalau ingin menaklukan segala halang rintang jangan takut apapun. Lakukan saja sesuai kehendak hati. Yang terkadang entah mana benar kata hati atau malah bisikan dari alam gaib yang mulai banyak tidak di percayai.

Tapi tidak semua orang seperti lima wacana di atas. Ada juga yang bertaubat. Setelah lelah dengan urusan dunia. Baru mulai mempelajari agama yang telah di torehkan di atas kartu tanda penduduknya. Karena sibuk sebelumnya untuk memenuhi hasrat duniawi.

Mulailah banyak yang datang ke kajian-kajian. Mualilah banyak yang mempublish ayat-ayat suci. Mulailah banyak yang membantu agar agama tak lagi kelihatan kuno.

Dan muncullah kembali rasa ego dan tak mau di salahkan karena tak belajar agama dari kecil. Penjelasan ahli agama yang kurang jelas langsung di kecam. Bukannya malah merasa kurang ilmu dan kembali mempelejari dari awal. Membaca kajian dari internet tanpa sumber dan menjadikannya perdebatan antara sesama. Bukannya Tabayyun (Konfirmasi) kepada Sang Pemilik Hukum dan kembali membuka kitab suci.

Ayat-ayat suci yang di publish hanya sekedar di publish. Bermaksud mengingatkan orang lain tapi tak menjadi cambuk untuk dirinya sendiri menjadi lebih baik. Sibuk berkomentar kesana-kesini. Ingin mengubah itu dan ini.

Sejak awal Agama ada untuk menuntun umat manusia di tempat persinggahan ini. Tak ada yang kuno. Agama adalah bentuk faham paling fleksibel sejak manusia di ciptakan. Fleksibel artinya bisa di terapkan di semua jaman bagi yang memang ingin dan sungguh-sungguh menerapkannya. Bukannya malah mencari-cari kemudahan di dalamnnya.

Tuhan, Dimana?


Carilah sendiri kawan. Dzat yang sebenarnya lebih dekat dari pada urat nadi mu sendiri.