Advertisement

Responsive Advertisement

Hati-hati untuk Kita yang Tidak Pernah Terkena Bencana

Aku lahir dan besar di Medan. Sebuah kota terbesar keempat di Indonesia, dengan hiruk pikuk dan terkenal tinggi tingkat kriminalisme nya. Privilege ini mungkin yang membuat aku tumbuh menjadi pribadi fearless. Karena sekacau-kacaunya kota Medan, aku masih selamat hampir 3 dekade dengan badan utuh disini. Meski kalau urusan copet-mencopet atau pencurian aku tidak selamat sih.


Aku juga belum pernah merantau untuk waktu yang lama dari kota ini, sehingga aku tau persis kota ini belum pernah terkena bencana alam yang begitu besar dampaknya. Banjir terjadi juga karena tata kelola kota, pernah ada angin puting beliung juga yah dampaknya di beberapa pemukiman yang memang secara desain bangunannya tidak terlalu kuat. Pernah juga air PDAM mati saat aku SD, jadi aku pernah manid di sekolah, di rumah tetangga atau di kampus mama. Semua masih mudah untuk dijalani.


Saat aku SD juga aku ingat betul saat tsunami menerjang kota banda Aceh dan sekitarnya. Esok harinya pesawat-pesawat bantuan sudah berseliweran di langit kota Medan. Televisi menayangkan lokasi kejadian, korban-korban di evakuasi. SAR dari seluruh Indonesia berkumpul. Semua mata langsung tertuju pada Aceh dan berusaha bagaimana agar kota itu segera bangkit dan pulih kembali.


Di penghujung 2022, aku terjebak (sebentar) di banjir kota Sigli. Kata mereka, ini banjir tahunan meski saat itu debit air lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari mereka mengaku terakhir kali banjir seperti ini 20 tahun silam. Saat aku melewati banjir dengan perahu karet tim SAR, aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku merinding membayangkan jika aku menyentuh air banjir, kulitku akan terpapar langung dengan E. coli, Salmonella, Kolera, Leptospirosis, dll. 


Lebay, kata temanku saat itu. Aku dinilai berlebihan dan sangat tidak beretika saat menghadapi bencana.Ya, aku mengakui hal itu. Bahkan aku ingin memukul diriku juga jika aku bisa bertemu dengan diriku di masa lalu.


Penghujung november 2025, tepatnya tanggal 25, seorang temanku mengirimiku reels berisikan situasi banjir bandang di Sibolga. Awalnya aku masih biasa saja, banjir dan longsor rasa-rasanya sudah sering terjadi dan kita hanya bisa turut berduka cita untuk para korban. Tak jauh dari kota Medan, juga daerah jalur Berastagi sering terjadi longsor. Nanti juga akan segera dibersihkan, pikirku. Tapi ternyata, situasi ini bukan se-sepele biasanya. Disaat temanku di Sibolga tak lagi bisa dihubungi, kepanikan mulai menjalar kesekujur badan. Temanku, temanku ada di lokasi bencana itu!


Esoknya, hujan kembali mengguyur daerah rumahku. Aku yang sudah berjanji untuk pergi ke event buku pun menunggu hujan sedikit reda baru aku bergerak pergi. Sembari mem-posting beberapa update  mengenai banjir Sibolga, aku masih sempat merekan beberapa konten untuk mempromosikan event itu. Tanpa tau, air sudah mulai naik di kota Medan. Aku dan temanku pun pulang setelah makan malam di Almaz. Sepertinya, itu makan enak terakhirku sebelum akhirnya aku tak lagi terlalu selera makan. Karena di tanggal 27, setengah dari kota Medan sudah terendam sempurna. Lalu aku juga mendapat kabar saudaraku yang di Lhoksmawe juga terjebak banjir, begitu pula adik sepupu ku yang sedang magang di Banda Aceh. Whatsapp sudah checklist satu, ditelpon biasa juga sudah tidak bisa. Lengkap sudah, tak ada lagi yang tau kondisi disana. Kepalaku langsung pusing, aku uring-uringan, tidak bisa menulis apapun hari itu. Hingga malamnya, kakakku mengajakku untuk berbelanja agar besoknya kami bisa membagikan beberapa kudapan untuk orang-orang di Medan yang terdampak parah dari banjir kali ini.


28 November, kami pun sejak pagi begerilya membagikan makanan. Kakakpun sudah open donasi, kami tiba-tiba menjadi relawan dadakan untuk di kota Medan untuk beberapa hari kedepan. Beberapa teman-teman diperantauan juga meminta tolong agar aku bisa melihat keluarganya juga yang terdampak, membelikan beberapa keperluan dan sebagainya. Aku capek. Jujur saja aku capek. Bukan secara fisik, tapi secara mental. Melihat rumah-rumah tumbang, mobil rusak, dimana dalam bayangku, itulah harta yang ia impikan dan kumpulkan dalam hidupnya, lalu hilang begitu saja. 


Awal Desember, aku pergi sebentar ke Kuala Lumpur karena diajak temanku. Aku kira aku bisa healing sejenak, tapi ternyata aku kepikiran sejak melihat jejak banjir dari pesawat, dan makin greget karena ga bisa ngapa-ngapain selama jauh dari Medan. Ditambah lagi KL juga banjir. Aduh, kepalaku semakin sakit rasanya. Sepulang dari sana, aku langsung terjun ke Aceh Tamiang.


Aceh Tamiang setelah 10 hari banjir bandang, rasanya seperti baru surut 3 hari lalu. Air masih menggenang, orang-orang penuh dengan lumpur meminta makanan dengan wajah-wajah bingung. Korban bingung mau menata kekacauan ini mulai dari mana sehingga menerima apapun bantuan yang orang-orang berikan, kami pun relawan juga bingung karena kadang kala tidak membawa bantuan yang tepat. Saat kami membawa nasi masak dan sembako, masyarakat bertanya adakah lilin dan autan. Ketika kami membawa air bersih dan peralatan mandi, masyarakat bertanya adakah popok dewasa dan bedong bayi.


Pilu.


Ditambah komentar-komentar nirempati yang dikeluarkan oleh para pemangku kebijakan. Oleh orang-orang di jajaran atas yang kita harapakan bantuan melalui instruksi dan kebijakannya. 

Aku juga mendapati banyak masyarakat diluar lokasi bencana berkomentar itu adalah dosa dari orang-orang yang tinggal disana. Terutama lokasi yang sudah berulang kali diterpa bencana. Ah, segitu dangkalkah pola pikir kita saat ini?


Aku justru takut kota yang jelas-jelas penuh dengan kriminalisme namun tidak pernah terkena bencana besar adalah tanda-tanda bahwa orang-orang di kota ini tak diberi pengampunan oleh Yang Maha Kuasa.


Entahlah apa orang-orang tau bahwa dalam agama islam ada orang-orang yang masuk dalam kategori mati syahid, salah satunya adalah meninggal karena tenggelam, terbakar, tertimpa benda keras dan beberapa lainnya yang bisa kalian cari sendiri di internet.


Imam Bukhari (No. 2829) dan Imam Muslim (No. 1914) diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

"Syuhada (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima: orang yang mati karena wabah penyakit (tha’un), orang yang mati karena sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.


Aku justru melihat, betapa sayang Allah mengambil mereka dalam bencana agar dimudahkan urusan akhiratnya dan juga melalui bencana Allah menunjukkan perilaku-perilaku manusia menyikapi bencana. Wallahu a'lam bissawab.


Kini, aku baru mampu membantu menyalurkan bantuan untuk orang-orang yang posisinya berada dekat denganku dan bisa ditempuh pulang hari. Karena aku enggak sanggup lama-lama di lokasi bencana. Rasa sedih menyelubungiku. Berat sekali rasanya. Dan aku juga belum mampu untuk menghibur dengan baik setiap korban selamat dalam bencana kali ini.


Udah, lagi pengen nulis ini aja. Ciao.


Posting Komentar

0 Komentar