Ingatanku melambung ke pertengahan tahun 2019 silam saat dosen pembimbing sudah memborbardirku untuk segera menyerahkan hasil penelitian. Judul penelitian yang aku ambil sebagai tugas akhir ialah 'Perilaku makan orangutan sumatera di taman hewan'. Aku suntuk sekali saat itu, ditambah baru magang di NGO, masih beradaptasi tapi masih belum selesai sama urusan tugas akhir ini. Lalu seorang teman mengajakku ke perpustakaan kampus agar aku mendapatkan sedikit pencerahan. Karena masuk kantor biasanya jam 10 dan gak dimarahin juga kalau sedikit ngaret, maka beberapa kali kalau sedang tidak ke lapangan, aku akan ke perpustakaan dari jam 8 pagi baru lanjut ke tempat magang. Di perpustakaan sebenarnya aku tidak mencari literatur karena dosen-dosenku hanya mau literatur 10 tahun terakhir dan alangkah lebih baiknya dari jurnal, bukan buku.

Tapi pada suatu waktu, aku meninggalakan laptopku di meja dan berjalan ke arah rak buku-buku tua di section biologi. Aku melihat buku Animal Ethology, Etologi primata, Gorilla behavior dan sampai kepada The Chimpanzees of Gombe, Patterns of Behavior ditulis oleh Jane Goodall. Aku membawa buku yang sudah menguning dan berbau kertas tua itu ke meja. Membuka perlahan, membaca dan takjub. Ada banyak sisi yang dapat kita tuliskan pada lembar pengamatan, pengamatan perilau tak hanya terpaku pada apa yang sudah menjadi pakem. Tentu saja itu karena belum banyak pendahulu yang membuat berbagai macam teori untuk menganalisis perilaku satwa liar. Jane Goodall bebas sebebas-bebasnya membuat deskripsi dari apa yang ia lihat. Aku pun dengan semangat menulis hasil penelitian, merasa menulis seperti Jane, mengingat semua detail dari pengamatanku bagaimana cara orangutan makan di taman hewan. Dua hari kemudian, aku dengan percaya diri menyerahkan hasil itu ke dosen pembimbing. Dopingku tak teralu banyak memberi masukan, yang penting mahasiswi nya yang manja ini bisa segera selesai. Tapi tidak dengan dosen penguji. Pembahasanku kena bantai, katanya aku menulis seperti sedang menulis artikel populer, kurang sekali literatur yang mendukung setiap pernyataanku. Itulah akibatnya kalau terlau banyak nulis blog. Aku meringis geli merespon itu. Ah, aku kira sudah keren sekali saat itu aku kerasukan roh Jane Goodall.
Only if we understand, can we care. Only if we care, we will help. Only if we help, we shall be saved.- Jane Goodall
Dua tahun kemudian, aku baru mengetahui bahwa Dr. Jane Goodall itu masih hidup. Berarti aku memang tak pernah kerasukan rohnya. Wong orangnya masih semangat menjadi pembicara dan menjadi aktivis untuk yayasannya. Oalah...
Sejak aku aktif bekerja di ranah konservasi, quotes dari Dr. Jane berseliweran disekitarku. Salah satu yang aku suka adalah: Only if we understand, can we care. Only if we care, we will help. Only if we help, we shall be saved.
Itu membuat aku semangat dalam mengedukasi banyak khalayak, meski kadang responnya kureng, aku menganggap hanya karena mereka belum mengerti, maka kita terus edukasi sampai mengerti.
Lalu pagi ini, aku terbangun lebih cepat dari biasanya. masih ada satu jam sebelum adzan shubuh berkumandang. Seperti kebanyakan umat manusia jaman now, aku langsung mengecek smartphone dan melihat postingan dari pak Gary L. Shapiro, memosting foto Dr. Jane dan mengatakan bahwa ternyata seorang Jane Goodall, mortal. Yah, selama ini beliau hidup sampai 90 tahun juga aku mengiranya beliau immortal. Bayangin aja, buku dari tahun 60-an itu aku baca dan aku mengira bahwa penulisnya sudah menjadi roh.
Ditengah sejuknya udara shubuh, aku justru seperti linglung. Aku kira aku masih punya kesempatan bertemu dengannya. Aku kira aku akan bertemu dengan Jane yang sesungguhnya, karena Tarzan salah menikahi Jane (kalian harus tau lelucon ini!). Aku langsung membuka websitenya Jane Goodall Institute, masih merasa mungkin pak Gary salah. Ah... aku langsung lemas saat melihat headline pertamanya adalah Remembering Jane.
Rasanya lebih dalam dari kabar Steve Irwin yang tertusuk ekor pari (dan membuatku sangat berhati-hati sampai hari ini dengan laut!). Mengetahui tokoh-tokoh yang menghiasi masa kecil ku melalui animal planet, National Geographic, satu persatu pergi, rasanya yah.. apa ya, lebih kepada, bisa ga ya meneruskan sprit mereka?
Kepergian Dr. Jane Goodall mengingatkan perasaanku kembali saat Nenekku meninggal di tahun 2018. Aku berulang kali bilang pada Nenek untuk melihatku wisuda. Aku iri dengan sepupu-sepupuku yang diupah-upah saat sudah selesai kuliah. Waktu masuk kuliah juga aku memaksa nenek yang mengucapkan upah-upahku. Dan pada akhirnya, Nenek tak sempat melihatku wisuda.
Begitupula seperti Dr Jane yang tidak mengenalku, tak pernah bertemu denganku, tapi semua ilmu yag dia sebarkan, aku terpapar didalamnya. Semangat dan dedikasinya ikut merasuk ke dalam jiwa ku sebagai konservasionis. Dr. Jane Goodall mendedikasikan dirinya untuk simpanse kurang lebih selama 60 tahun. Artinya, aku juga masih punya kesempatan yang panjang untuk memberikan dedikasi bagi bumi ini sebagai khilafah. Seperti Dr Suci Utami Atmoko yang sudah 30 tahun menggeluti orangutan, atau seperti kak Rahayu Okaviani yang sudah di dalam perjalanannya meneliti gibbon, dan aku yakin banyak perempuan lain di belahan dunia juga dalam perjalanannya, aku juga akan menemukan jalanku sendiri.
Dr Jane Goodall memang sudah pergi hari ini, sesuai namanya, pergi dengan Good (at) all. Seluruh warisannya akan abadi bagi banyak konservasionis terutama para perempuan yang semakin tangguh menjadi peneliti di alam liar.
Your Legacy Will be Eternal, Dr Jane Goodall.
0 Komentar
Your word can change the world! you can be left a comment on my post :)