Seperti biasa, judul sesukaku yang sekiranya nyambung.



Aku merasa proses penyembuhan mental ini cukup lama, ini sudah masuk tahun ketiga dari saat aku menyadari ada yang salah dengan diriku. Hal ini aku sadari ketika aku baru selesai mengerjakan proyek kegiatan dari lembaga yang cukup bergengsi di bidangku. Saat wawancara singkat sebelum proyek itu berlangsung, aku ditanya beberapa hal seperti apakah aku sudah pernah mengerjakan hal-hal seperti ini sebelumnya, aku menjawab belum pernah sama sekali. Senior yang mengajakku dalam kegiatan itu terkejut dan berkata, "Masa sih ga pernah? kegiatan A,B,C tempo itu?" akupun bingung saat ditanyai hal itu. Dan aku kembali menjawab,'Iya tidak pernah.', sebab saat itu aku benar-benar merasa kosong dan tidak mengingat apapun yang pernah aku lalui semasa kuliah.


Qadarullah, aku benar-benar merasa ini pertolongan Allah. Aku tetap dilibatkan dalam kegiatan tersebut dengan diri ku yang 'kosong' saat itu. Selanjutnya semua kisah yang mengalir saat itu benar-benar indah. Meski aku sempat mengacaukan beberapa hal, aku juga tau pasti ada rasa sebal dari rekan-rekanku saat itu dengan sikapku, anehnya semua orang saling bekerja sama untuk menjaga mentality masing-masing. Aura toxic yang ada pada diriku membal dan menguap rasanya di tanah serambi makkah itu.


Gejala depresi bermula saat aku menangis ketika penutupan dari sebuah kegiatan pelatihan di tahun 2021. Sebelum aku berangkat, seseorang mengatakan bahwa pelatihan yang aku ikuti bukanlah bidang dari pekerjaanku. Sehingga, aku dipaksa untuk mengajukan surat cuti saat itu. Disana, sebagai salah satu peserta yang lebih dewasa dari peserta lain aku merasa sangat tertinggal dari teman-teman yang usianya dibawahku. Talenta yang ku asah sejak masa sekolah semuanya kembali 'mentah'.


Dari pelatihan itu aku bukan semakin produktif, justru merasa arahnya ngawur dan impulsif mengikuti berbagai kegiatan lain. Apakah ada yang bisa aku terapkan di pekerjaanku? Ternyata tidak. Saat aku mencoba menulis laporan dengan baik, komentar yang muncul justru, ‘aku tidak membaca apa yang aku tanda tangani.’ menurutnya laporan deskriptif itu hanya bersifat administratif, tanpa makna. Aku tidak mendapatkan feedback dari pekerjaanku. Karena semua orang disana juga 'sepertinya' bernasib sama sepertiku, maka kondisiku tidak terlihat sebagai sebuah 'red sign'.

Ibuku bilang,'berhenti saja kalau sudah tak ada alasan untuk bahagia'.


Perlahan, ibuku menyadari bahwa sudah ada yang salah. Ibuku bilang,'berhenti saja kalau sudah tak ada alasan untuk bahagia'. Tentu saja kata-katanya tak semanis itu, tapi kalian mengertilah bagaimana seorang ibu yang mengkhawatirakan anaknya. Aku, sejak dulu tak terlalu keras dalam keputusan-keputusan ibu terhadapku. Kalau ibu tidak restu, dengan gampang aku tak melakukan keputusan itu. Akupun keluar setahun kemudian dengan menyimpan sesal bahwa aku yang salah, aku yang tidak bisa memanajemen diriku sendiri.


Sebelum keputusan keluar itu aku menulis beberapa hal di blogku yang tentunya dibaca oleh beberapa orang di kantor lalu ada yang menyuruhku untuk takedown. Bahkan untuk sosial media dengan otoritas milikku sendiri, aku dipersekusi. Aku semakin takut untuk kembali menulis, merasa setiap langkah yang aku tempuh semuanya salah.


Gejala depresi pun membawa ku kepada diagnosa adjusment disorder. Hal ini normal untuk orang-orang yang sedang melewati proses transisi. Dan dalam kasusku, tidak ada transisi yang benar-benar terlihat. Aku magang kerja selama setahun dalam posisi belum tamat kuliah, di hari aku sidang aku langsung menandatangi kontrak kerja pertama, tanpa on job training (FYI saat magang dan PKWT, jobdeskku lumayan berbeda), lalu covid melanda, aku yang sejak kecil tidak pernah ngekos harus tinggal selama 1-2 minggu di perbatasan kebun dengan hutan. Terisolasi dengan seluruh tim inti laki-laki, diberi pelecehan verbal, dibatasi ruang geraknya dilapangan karena 'perempuan' dengan alasan untuk melindungi. Selanjutnya masalah internal antar divisi, drama kantor, HRD yang tidak berfungsi dan underpaid tidak perlu dibahas karena sepertinya ada dihampir setiap sektor perkerjaan, ditambah ini di Sumatera Utara, hehe!


Waktu berlalu, aku tetap beraktivitas, mencari pekerjaan lain, mengikuti berbagai kesempatan, mengikuti pelatihan demi menjawab rasa bingungku kenapa aku merasa hilang arah, memendam sesal dan dongkol dengan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan pribadiku.


Ini sejalan dengan gelaja lain yang tidak terlalu terlihat tapi menganggu kehidupan sehari-hari seperti Emosional yang terus menerut merasa sedih, cemas, merasa tidak berharga. Merasa kehilangan identitas diri atau bingung tentang arah hidup. Kognitif / Pikiran yang sulit fokus. Kadang merasa memori kabur atau “lupa diri” (bisa ada gejala disosiatif ringan). Perilaku menarik diri atau sebaliknya jadi gampang terlibat dalam konflik. Perubahan minat, Fisik lelah, gangguan tidur sampai mudah sakit.


Lalu aku bertemu dengan juniorku yang lanjut sekolah di ibukota dan bekerja disana. Dia mengatakan padaku beberapa movement dan inisiatif yang aku kerjakan semasa kuliah. Itulah saat dimana aku menyadari bahwa aku banyak melupakan hal penting. Aku mengerjakan banyak desain untuk kepanitian internasional, aku salah satu inisiator yang menghidupkan kembali kegiatan fotografi dan ditambah dengan pembuatan database untuk jurusanku. Kami menamainya Biologi Database Center (BDC), itupun hasil menjawab senior-senior yang meminta kegiatan itu kembali dihidupkan. Ternyata banyak kegiatan besar yang kami lakukan dan memorable. Tapi aku benar-benar tidak ingat sampai kepada anggota-anggotanya. Ada beberapa junior lain yang menjadi kikuk saat kembali bertemu karena merasa sangat dekat denganku dari organisasi itu tapi aku lupa dengan mereka. Bayangkan saja, kami kembali bertemu secara offline setelah 2 tahun masa pandemi, menyapaku dengan ramah tapi aku tidak mengenal mereka. Aneh. Benar-benar aneh.


Bahkan aku sempat berpikir apa yang membuatku dekat sama si junior yang mengajakku bertemu itu. Setelah mereka menjelaskan semuanya, menunjukkan foto-foto kami di instagram (Terimakasih sosial media!) aku terhenyak. Kepalaku terasa dingin, apa yang sebenarnya terjadi?


Selama setahun aku perlahan menggali cerita siapa aku dimasa lalu. Aku main dan bertamu ke beberapa teman Blogger, bertanya kegiatan-kegiatan yang seru masa itu, mereka justru mengingatkanku bahwa dulu aku beberapa kali memenangkan kompetisi blogger skala nasional. Menganggap aku salah satu saingan yang cukup dipertimbangkan dalam setiap kompetisi. Jam terbang yang tinggi, talenta menggambar ilustrasi, berpikir kreatif, sampai kepada penulisan yang lucu, mengalir sampai berasa bahwa aku benar-benar bercerita dengan membaca tulisanku. Benarkah begitu?


Aku merasa menjadi seorang pickme di tahun berikutnya saking hausnya mencari validasi siapakah aku sebelum masa covid. Tapi kembali, ini hal normal, banyak orang yang mengalami nasih seperti ini, hanya saja mereka tidak punya waktu untuk pulih, bahkan untuk menyadari keberadaan luka tersebut.


Kalau kata orang-orang tua, anak-anak muda sekarang lemah dan lebay, dikit-dikit mental health. Syukurnya anak-anak bermental lemah dan lebay ini lahir di era psikolog dan psikiater mudah diakses sampai bisa di cover oleh BPJS.


Akhirnya, memasuki tahun ketiga, aku sudah mulai bisa bercerita dengan baik seperti ini, perlahan menyadari kompetensi diriku, mengingat hal dan ilmu apa yang sudah ku pelajari dan kembali mencari arah kemana potensi diri ini berjalan. Sudah ringan dalam menceritakan ini, sudah kembali lebih banyak senyum, kembali percaya diri untuk bersosialisasi, tidak takut salah (kalau salah bisa diperbaiki! semua orang pernah salah, tinggal dibutuhkan kesadaran diri.), dan kembali semangat meniti karir meski masih gagal dan jatuh bangun.


Berkat keluarga yang sangat suportif, orangtua yang benar-benar banyak bersabar atas anaknya, teman-teman yang masya Allah diberikan berhati baik dan besar hati.


Mungkin sekarang belum biasa aku nyatakan aku sudah sembuh atau memastikan aku takkan melewati situasi seperti ini lagi, tapi kalau terjadi, aku akan lebih cepat menyadari kondisi ini dan tidak perlu berlarut begitu lama sehingga aku menyakiti orang lain hanya karena aku yang sedang 'sakit'.


Terimakasih telah membaca, ciao!