Waktu masih kecil, aku sering mendengar kalau keluargaku dinafkahi tidak dengan rupiah. Aku juga sering melihat dan mendengar Ayah sedang menelpon money changer untuk menanyakan kurs hari itu. Aku tau bahwa kurs itu naik dan turun. Lalu aku bilang pada Ibu, 'Kenapa kita tidak menahan beberapa mata uang asing dan menunggu nilainya naik?' Ibuku hanya berkata,'Itu namanya main valas, haram!' jawab ibu kepada aku yang masih kelas 5 SD saat itu. Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena mempertanyakan hal yang sudah dihukumi haram, itu pantang.
Saat aku masuk SMP, keluarga kecil kami diberi kemampuan untuk berpelesir ke Singapura meski pulang hari balik ke Malaysia. Aku menyimpan beberapa sen dan berharap akan menahan uang itu sampai dia jadi antik lalu dibayari. Aku membaca di majalah bobo saat itu bahwa ada orang yang hobi mengoleksi sesuatu seperti kegiatan filateli (mengumpulkan perangko), hot weels, Barbie, dan juga mengoleksi uang-uang lama dari berbagai negara sampai ia punya nilai di masa depan. Yah, yang ternyata hanya berharga di mata para kolektor. Di bank, nilainya tetap sama. Tapi, itu juga disampaikan padaku,'Haram, pertambahan nilai untuk alat tukar, itu Riba. Riba itu Haram!' Sekali lagi, sesuatu yang sudah dihakimi Haram, pantang didebat dan dipertanyakan.
Karena aku tidak merasa punya kesulitan finansial di masa sekolah, aku tidak terlalu berjuang dalam mencari uang jajan tambahan. Ditambah lagi, sejak kecil aku merasa tidak sulit mencari uang. Aku menjual fotokopian gambar hasil menjiplak/tracing salah satu tokoh di majalah untuk diwarnai, seharga 100-200 rupiah per lembar, tergantung kesulitan aku menjiplak. Hasilnya berantakan setelah kuliat lagi saat dewasa, tapi entah kenapa bocah-bocah sebayaku dulu membelinya. Ah modal fotokopinya? ibuku memberi aku 1000 rupiah logam saat itu. Dan harga per lembar fotokopi hanya 25 rupiah. Tentu saja aku sudah bisa memutar terus uang tersebut sampai aku kelas 3 SD dan harus berhenti usaha ini karena keluargaku pindah rumah. Tukang fotokopinya tidak ada di dekat rumah baru, huhu. Dan tidak ada yang memberi tau bahwa margin usahaku up to 75% sehingga seharusnya bisa punya strategi pasar untuk mengatasi permasalahan sumber daya yang jauh. Yah... selain orangtuaku tidak ada yang melek urusan bisnis dan investasi, mereka juga sibuk dan ga ngeliat potensi 'cuan' dari anak-anaknya. Hahaha!
Saat aku SMP, aku menjual pin dan brooch hasil daur ulang kertas dan aku semprot pakai pylox clear agar mengilat. Harganya 500-1000 rupiah tergantung besar dan kerumitan model. Tapi secara modal juga besar, aku harus beli peniti, lem, gypsum, pylox, dan juga waktu untuk menjemur sampai benar-benar kering. Itu awal mula aku berbisnis yang modalnya hilang begitu saja. Untungnya ga seberapa, modal habis terus.
Saat SMA lebih parah. Aku menjual Danbo dari kertas karton dan Ilustrasi wajah yang dibingkai. Jualanku hanya berkisar 50-90 ribu rupiah saja. Aku untungnya sipiii sekali. Karena di masa itu, harga bingkai kayu saja sudah 40 ribuan. Belum banyak juga bingkai estetik polos berbahan kayu. Adanya hanya bingkai plastik dengan ukiran berwarna emas ala kerajaan majapahit. Belum lagi kertas-kertas yang aku gunakan belinya dari Gramedia, pensil yang digunakan untuk menggambar juga merk Lyra. Kacau bener, wkwk!
Aku tidak punya pembukuan yang rapi, tidak menghitung modal, apalagi hasil. Pokoknya asal ada uang yang aku pegang justru aku habiskan berfoya-foya dengan teman-temanku untuk nonton saat akhir pekan, makan di warung yang baru buka karena penasaran, tak jarang juga sok royal dengan mentraktir teman-temanku. Selain dapat jajan dari jualan (yang sebenarnya kemakan modal), aku juga sok iye selalu merasa banyak uang hasil lomba sana-sini. Aku ingat ibuku beberapa kali menegur karena kebiasaanku yang semakin boros beli pernak-pernik gak penting. Tapi ya itu, ditegur doang, ga ada bimbingan cara mengatur uang secara konsisten. (Dasar anak, nyalahin ortuuu mulu!)
Saat kuliah semakin parah. Uang mengalir deras untuk peralatan dan sampel praktikum. Uang jajan dan uang tabungan terkuras karena aku cukup rajin memecahkan barang laboratorium dan harus menggantinya, huweee. Uang-uang lomba lebih sering aku pakai untuk menghibur diri sendiri. Yup, makan dan makan. Aku suka makan.
Tapi karena aku sejak SMA sudah ikut dalam komunitas Blogger, saat kuliah ada satu event yang membuatku berkenalan dengan Reksadana. Sekitar dua tiga kali aku bertemu dengan salesnya, aku semakin banyak belajar jenis-jenis instrumen investasi. Tapi aku ga mau bahas itu ditulisan kali ini. Singkat cerita, aku baru tau valas itu singkatan dari Valuta Asing, dan uang yang sudah tidak digunakan sebagai alat transaksi dimasa itu boleh dihargai lebih tinggi sebagai benda bernilai sejarah.
Sejak saat itu aku banyak belajar dan mencoba Reksadana, likuiditas tinggi (iyalah, 2x24 jam udah bisa cair), bisa memilih kemana dana kita berputar dan banyak keuntungan lainnya yang aku pahami saat itu. Tapi lagi-lagi saat aku baru belajar sudah dihukumi,'Haram'. Kali ini bukan dari orangtuaku, namun oleh mentor dari organisasi islam yang sekarang sudah illegal di Indonesia... hehe. Yang halal hanya harta dari transaksi dagang, kira-kira begitu. Itupun dilihat dulu bentuk dagangannya. Kalau ada konotasi negatif dari nama produk pun di hukumi: Haram. Apalagi model jualanku dulu, menggambar dan membuat miniatur danbo. Tukang gambar dan tukang patung, masuk neraka! Wah, di era itu bahkan aku sampai berusaha untuk tidak berfoto di sosial media. Alhamdulillah masih kebawa sampai sekarang, meski sesekali masih posting. Di era AI sekarang bahaya betul jika sering-sering memberi data visual ke dunia maya.
Begitu selesai dunia kuliah dan kerja, ya sama aja. Aku ga kepikiran tabungan, taunya langsung sisihin kasih orangtua, sisanya foya-foya.
Visi foya, Misi foya, Visi Misi foya-foya. YOLO!
Mulai deh kakakku sempat mengomeliku yang belum punya aset di usia segini. Katanya karena didikanku soal uang sejak kecil memang tidak ada. Aku pikir itu hanya karena aku kurang fokus dan kurang penalaran saja untuk bertanya kenapa begini-kenapa begitu. Akhirnya sekarang deh aku mulai banyak mempelajari tentang keuangan. Sampai-sampai aku berharap punya pasangan dari jurusan manajemen atau ekonomi untuk melengkapi kekuranganku dalam ilmu manajemen dan keuangan. Yaaah, kalau sekarang sih aku tetap belajar sih. Soalnya kondisi ekonomi dunia semakin gonjang-ganjing. Salah langkah, bisa terjebak dalam situasi krisis moneter lagi dimana harga susu untuk seminggu setara gaji Ayah sebulan. Cedih.
Oke deh, cuma mau sharing itu aja. Nanti kalau ada perkembangan tiba-tiba aku udah melek betul dan jago mengenai manajemen keuangan ini, akan kita tuliskan lagi. Kalau sekarang sih, harusnya ada content placement bisa masuk disini. wkwkwk! Kalau kalian gimana, udah bagus belum ilmu manajemen dan investasi uangnya?
Ciao!
0 Comments
Posting Komentar
Your word can change the world! you can be left a comment on my post :)