Suatu ketika, saat sedang mengikuti proyek lapangan di sebuah hutan di Aceh, seorang teman dalam tim bertanya padaku, "Ngapain sih pakai mukena lagi?" setelah memungut mukenaku yang terjatuh di area kami mendirikan tenda. Kepalaku yang isinya suka jumpalitan ini sempat tertegun, masih mencerna omelannya sebelumnya yang mengira mukenaku adalah temuan unik—sebuah benda berkilau di atas hamparan serasah daun. "Secara syaratkan udah cukup, bajumu saja begitu," lanjutnya.  

Aku menjawab, "Biar tidak terlihat aneh saja. Umumnya perempuan di Indonesia kan pakai mukena kalau mau sholat." Setelah itu, kami mengobrol ringan tentang hal ini, sekadar mengisi waktu luang sembari menunggu telur rebus dan kopi panas dari tim dapur.  

---  




"Biar tidak terlihat aneh saja. Umumnya perempuan di Indonesia kan pakai mukena kalau mau sholat."



Praktikum Lapangan


Dulu, saat pertama kali sering keluar-masuk hutan untuk praktikum lapangan jurusan Biologi, medan yang kulewati tidak terlalu berat. Hutan yang kami masuki masih berupa jalur trekking biasa yang sering dilalui wisatawan. Kami tidak perlu menerabas semak belukar, membuka jalur, atau menuruni tebing seperti yang kulakukan beberapa tahun terakhir ini.  

Saat itu, aku lebih sering memakai rok tipe overall agar tidak melorot jika tak sengaja terpijak atau tersangkut. Kadang juga memakai gamis ringan yang mudah kering. Soal pakaian sholat, aku tak terlalu memikirkannya. Pemahamanku sederhana: tanah itu mensucikan. Apalagi jika menemukan aliran air atau sungai deras. Di pikiranku, seluruh hutan itu suci dan menyucikan. Jadi, saat waktu sholat tiba, cukup gelar matras, lalu sholat. Semudah itu.  

---  

Penyesuaian 


Lambat laun, saat memasuki dunia kerja, aku merasa bahwa memakai rok justru membuat orang lain "susah pikiran". Setiap kali melewati pemukiman masyarakat menuju lokasi proyek, selalu ada komentar:  

"Ini mau ngajar ngaji di mana?"
"Aduh, ini cah wedok* harus ya ikut kerjaan laki-laki?"
"Tinggal di rumah Ibu aja, gak usah masuk ke dalam. Perempuan bagus kayak kamu, apa kata orang nanti?

*Cah wedok: Anak perempuan-bahasa jawa

Celoteh itu terus kudengar hanya karena aku berjilbab panjang dan memakai rok.  


Akhirnya, pelan-pelan aku mencoba kulot, lalu celana training dengan atasan kaus panjang sampai selutut. Soal jilbab, aku tak mau memendekkannya—perintahnya jelas: julurkan sampai menutup dada. Untuk bawahan, pemahamanku sederhana: yang penting tidak ketat atau membentuk tubuh, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki (meski sekarang banyak pria pakai kulot juga, ck ah).  

Sejak aku mulai berpakaian seperti teman-teman lain—pakai celana—komentar orang sekitar berkurang. Bahkan, beberapa kali aku memakai celana agak ketat dengan kaos lengan panjang. Syaratnya: tidak ada dokumentasi atau publikasi foto saat aku memakainya. Itu batas kompromi yang bisa kutempuh.  

---  

Dunia Konservasi dan Stereotip Perempuan


Di dunia konservasi—yang masih didominasi laki-laki—perempuan yang terjun biasanya bertipe tomboy: bertato, bercelana pendek, tank top, rambut pirang, dan merokok adalah hal lumrah. Baru dalam 10 tahun terakhir, mulai banyak perempuan berhijab yang meramaikan dunia ini.  

Itulah mengapa aku memakai mukena: sekadar identitas, meski syarat pakaian sholat sebenarnya sudah terpenuhi. Aku tidak mau dipandang aneh, dianggap radikal, atau memicu asumsi macam-macam hanya karena sholat tanpa mukena. Tidak membuat orang menambah prasangka lebih penting bagiku daripada berusaha menanamkan esensi syariat. Tugasku di lapangan adalah bekerja untuk alam, bukan mengajari orang cara berpakaian.  

---  


Tapi kini, aku perlahan mulai menjajal gunung, hutan, dan kegiatan outdoor lainnya dengan rok kebanggaanku. Biar lebih mudah beribadah—kadang kalau pakai celana, kan, masih membentuk kaki juga, ya.  

Yah, begitulah ceritanya. Aku senang memakai pakaian syar’i: nyaman, aman, dan memudahkan ibadah. Soal pakai mukena atau tidak, kalau bawa mukena rasanya lebih safety. Bisa jadi kita butuh rok atau jilbab ganti di hutan, dan mukena bisa jadi solusi sementara, kan?