Awal tahun 2023, aku berkesempatan untuk berkegiatan di Aceh. Meski ini bukan kali pertamaku menginjakkan kaki di provinsi itu, aku belum pernah benar-benar berinteraksi dengan masyarakatnya. Selama ini aku hanya mendengar cerita-cerita tak baik tentang Aceh dari orang-orang sekitarku.
Ah, tak perlu kuceritakan betapa rasisnya cara mereka menggambarkan Aceh, karena ketika kuingat kembali semua kisah itu dan apa yang kurasakan sendiri selama berada di sana, aku justru merasa malu. Malu karena selama ini aku tak pernah berusaha mencari tahu dan memahami Indonesia dengan lebih jujur dan terbuka.
Sejarah, bagiku, dulu adalah pelajaran yang membosankan. Entah karena pengaruh lingkungan atau cara penyampaiannya, di sekitarku selalu dikatakan bahwa sejarah di buku berbeda dengan kenyataannya. Mungkin ada benarnya. Tapi sayangnya, aku tak pernah mencoba mencari tahu mana kisah yang benar.
Sampai akhirnya Kak Syufra mengenalkanku pada buku-buku fiksi yang berakar pada kisah sejarah konflik bangsa ini, salah satunya Laut Bercerita. Dari sanalah aku mulai ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Syukurnya dengan cara pandang yang sudah berubah, baru aku memijakkan kaki di Tangse, Pidie.
Sebuah Jalur Lama Perjuangan
Kebetulan tugas ku saat itu bersama teman-teman yang lain adalah melakukan survei di lanskap hutan Tangse. Selama beberapa hari nge camp, lamat-lamat aku mendengar bahwa jalur yang kami pakai adalah bekas jalur konflik antara GAM dengan TNI. Teman-teman disana semuanya orang Aceh dan selalu mengobrol dengan bahasa Aceh, sehingga aku mau tidak mau harus bertanya langsung agar memahami cerita itu dalam bahasa Indonesia. Yah, mau gimana lagi, bahasa Aceh yang diajari kepadaku dengan akurat hanyalah kata-kata memaki dan cakap kotor. Itu pun aku sempat ditipu bahwa selamat pagi dalam bahasa Aceh adalah bokreh. Kurang ajar memang.
Sebelum kami masuk ke hutan, bang Radinal mengingatkan pada kami yang belum tau medan dan kisah tempat ini untuk berhati-hati. Katanya, masih mungkin ada ranjau aktif. Entah itu hanya menakut-nakuti saja, tapi aku selalu percaya pada orang lokal.
Aku pun bertanya sambil mengisi obrolan kami disela-sela istirahat mengenai GAM. Salah satu porter lapangan, bang Darwin, menunjuk satu arah dan bilang,"Itu Tiro." Ah, aku pernah mendengar nama itu, Hasan Tiro. Lalu teman-teman yang lain mulai menimpali bagaimana mereka menaruh rasa hormat dan perjuangan para kader GAM masa itu.
Pikiranku semakin bercabang saat itu, selain aku memikirkan harus mencari jaringan untuk mengerjakan ujian online dari kampus, memikirkan tugas utama pada survei ini, bertambah pula pikiran kenapa aku baru tau kisah-kisah yang barusan mereka ceritakan hari ini.
Setelah beberapa hari bermalam di hutan, survei di lokasi itu selesai dan kami turun menuju titik penjemputan. Qadarullah hujan turun dengan lebat. Setelah di cek, sungai yang harusnya kami lewati sudah tak bisa lagi disebrangi. Bisa sih sebenarnya, tapi resikonya tinggi. Akhirnya waktu turun yang diperkirakan hanya 3 jam paling lama, kami menghabiskan waktu 8 jam untuk memutar arah, naik ke arah hulu sungai. Pengalaman yang mantap sekali melihat perjalanan dari peta topografi bahwa kami naik turun 3 bukit.
Kami pun sampai ke desa terdekat sekitar setengah 4 sore, barang langsung ditinggal ke tim yang jemput dan segera bergegas shalat jamak ashar. Salah satu hal yang paling aku syukuri, tak ada kekhawatiranku masalah ibadah selama di Aceh. Masya Allah.
Sebuah Pertemuan dalam Cerita yang Berbeda
Setelah itu kami beristirahat sebentar sebelum kembali ke basecamp. Salah satu anggota tim yang menjemput dan juga menjaga basecamp adalah bang Icin, alias bang Mukshin. Umurnya sekitar 40 tahun. Teman yang lain mengingatkanku kembali perihal cerita kami soal GAM, dan memberitahu bahwa salah satu korban penembakan TNI saat itu adalah bang Icin.
Bang Icin pun bercerita bahwa saat itu dia masih SMP, bersama belasan temannya yang lain mereka sedang menerima pelatihan di dalam hutan. Saat sedang shalat berjamaah, tiba-tiba penembakan itu terjadi. Mereka diberondong peluru dari belakang. Bang Icin lari dengan punggung yang sudah tertembak beberapa peluru. Ia lari bersembunyi kedalam hutan, semua temannya terpencar-pencar. Di dalam hutan ia bertahan dengan kuasa Allah. Saat menceritakan ini, Bang Icin menitikkan air mata, karena baginya sulit sekali menceritakan ini dalam bahasa Indonesia. Banyak kejadian yang ingin ia beberkan padaku dan hanya bisa dideksripsikan dalam bahasa Aceh. Namun kalau Bang Icin bercerita dalam bahasa Aceh, aku pula yang menangis, tidak mengerti.
![]() |
Ini foto sebelum berangkat, salah satu foto yang masih ada backup nya. Huhuhu! |
Selama 2 minggu di hutan, akhirnya ia mengetahui siapa-siapa saja temannya yang berpulang melalui pengeras suara dari desa. Namun ia belum berani keluar dari hutan. setelah 40 hari, barulah ia menuju desa terdekat dan dievakuasi oleh masyarakat di sana. Punggungnya yang tertembak diperiksa dan terlihat beberapa sudah bernanah, infeksi. Secara manual mereka mengeluarkan dua peluru, beberapa waktu kemudian, di rumah sakit di keluarkan 7 peluru lainnya. Masih tersisa beberapa peluru lainnya bersemayam di tubuh bang Icin. Katanya kisah dirinya ini sudah pernah diliput oleh media, kalau tak salah BBC, tapi saat aku menulis ini, tidak ketemu pula video liputannya. Nanti kalau ketemu aku akan update disini ya.
Aku pun bertanya dengan segala keluguan ini,"Jadi bang Icin belum pernah naik pesawat?' Semua mata memandang heran, dari semua kisah sedih ini, aku merespon dengan pertanyaan itu. Dan ternyata benar, jawaban bang Icin mengatakan bahwa ia belum pernah naik pesawat. Akupun menjelaskan dari pertanyaanku tadi, soalnya kalau lewat X-Ray kan pasti berbunyi niu-niu karena masih ada logam di tubuhnya
Beberapa teman jadi menambahkan informasi kalau beberapa dari mereka takkan bisa keluar negeri. KTP nya sudah ditandai sebagai mantan GAM. Bahkan beberapa mantan GAM juga bilang kalau terjadi konflik di Indonesia, mereka akan kembali ke GAM, karena tidak kembali masuk pun sudah masuk daftar merah, lebih baik tetap didalam barisan perjuangan dong. Masuk akal, pikirku. Yang harusnya menjaga masyarakat malah pernah membombardir peluru seperti itu tanpa ada proses mediasi atas nama perintah atasan, sedangkan GAM sejak awal punya visi mempertahankan apa yang menjadi hak mereka di tanah kelahiran mereka. Memahami hal itu, menjadi titik balik bagi diriku sendiri untuk tak melihat dunia secara hitam putih.
Yang seharusnya menjaga rakyat, justru menembaki rakyat atas nama perintah atasan.
Tentang Cuak, Bukan Tentang Cuaaaksss
Tak lama, bang Darwin datang bergabung kedalam lingkaran kami. Lalu ada yang nyeletuk bahwa bang Darwin ini dulunya Cuak. Hampir mau mengamuk, tapi karena yang lain tertawa dengan alasan hanya ingin mengedukasiku, ia pun menjelaskan tentang Cuak. Cuak itu berarti mata-mata, tapi dari pihak musuh. Jadi orang Aceh yang menjadi pengkhinat dengan menjadi mata-mata untuk musuh di sebut Cuak. Oalah, pantas saja bang Darwin nyaris murka. Tapi berikutnya, mereka justru memberitahuku cerita pilu tentang bang Darwin. Bukan terkait konflik Aceh, namun sukses membuatku menangis saat itu.
Obrolan sore itu semakin sedih dengan tambahan bahwa Bang Icin harus kehilangan kekasihnya juga saat konflik dan ia masih belum menikah sampai sekarang. Alamak, lengkap sudah hatiku tertutup pilu mendengar seluruh kisah ini.
Aku ingat merekam obrolan kami ini, tapi sayang pertengahan tahun 2024 hapeku tewas karena kekasaranku sendiri sebagai pengguna. Obrolan kami pun lenyap bersama dengan memori yang belum di backup. Itulah kenapa aku menulis ini mumpung teringat dan tak ingin kehilangan memori yang menjadikanku semakin aware dengan seluruh kisah serta latar belakang suku-suku dan daerah di negara Bhinekka tunggal ika ini.
Terimakasih telah membaca, Ciao!
0 Komentar
Your word can change the world! you can be left a comment on my post :)