Advertisement

Responsive Advertisement

AI, AI, AI. Lagi-lagi Artificial Inteligent!

Hari-hari ku sebagai ekstrovert garis keras bisa muncul dimana aja dan duduk dengan siapa aja. Seperti sore ini aku lagi nongkrong bareng jurnalis senior, bang Arifin, ditemani Rahmi dan Kak Yuli, senior kami di kampus. 


"..urus Visa ke Brazil enggak ditanggung sepenuhnya dan.." ujar bang Arifin.


"Visa ke Brazil bang? emangnya ke Brazil pakai visa?" aku memotong sambil bertanya heran. Karena aku ingat baru membaca nama-nama dari 72 negara yang bebas visa bagi pemegang e-paspor Indonesia. Yah, aku membacanya ga dari laman web resmi sih, cuma dari sebuah akun yang suka bagi-bagi berita berdasarkan sepotong headline. 


"Iya, ini dituliskan di persyaratannya..." jawab bang Arifin lagi. Aku bergegas men-google 'apakah ke brasil butuh visa' dan summary gemini-AI nya google- menjawab dengan pernyataan,'Tidak, pemegang paspor Indonesia tidak memerlukan visa untuk berkunjung ke Brasil dalam masa kunjungan wisata atau bisnis hingga 90 hari.'


"Tuh kan ga perlu, aneh banget penyelenggaranya." kataku keras kepala. Padahal bukan aku juga yang mau ke Brazil. Tapi aku merasa benar dengan ingatanku dan divalidasi oleh AI.


Gongnya adalah setelah kami bubar dari tongkrongan. Aku si tukang mikir tapi bukan ovethinking tiba-tiba mencari tau tentang perbedaan paspor elektronik dan tidak. Mungkin, pikirku ada perbedaan antara pemegang kedua jenis paspor ini. Aku sebagai pemegang e-paspor sambil melihat-lihat destinasi mana yang memungkinkan untuk jalan-jalan dengan budget minim (yaelah, kalau budget minim mah nabung, ini malah mikir jalan-jalan).


Lalu seperti biasa semakain malam pencarian kita semakin liar, aku melihat-lihat perkembangan kasus Arya Daru, peran kemenlu, dan sampailah kepada jenis-jenis visa.... setelah aku membaca dan memahaminya. Ingatanku kembali kepada pembicaraan visa Brazil, aku memang ga salah, AI juga gasalah, Tapi...


Lah, . 'kan ini visa untuk izin liputan, untuk kerja, ya gak bisa dong pakai visa liburan/kunjungan...


Masalahnya AI tidak memberikan kemungkinan-kemungkinan lain terkait pertanyaanku. AI melalui bigdata nya merujuk pada kebiasaanku yang tidak pernah melakukan pencarian terkait visa pekerja, visa izin tinggal dan sebagainya. Algoritmanya berbeda. Hasilnya berbeda. Bubblenya berbeda.


Aku jadi merasa sangat tumpul dalam penalaran dan berpikir kritis. 


----------------


Aku sering berkirim reels dengan teman-temanku. Kalau rasaku relevan, aku akan mengirim kepada orang yang menurutku cocok menerima informasi atau lelucon dari konten itu. Dan begitu pula sebaliknya. Kalau ada yang relevan denganku mereka akan mengirimnya kepadaku. Tentu saja topiknya tidak jauh tentang kontan yang berisi orangutan, kerusakan hutan dan tangkapan-tangkapan satwa liar melalui kamera trap.


Satu kali, ada postingan berupa tangkapan kamera trap yang dikirimkan kepadaku. Beberapa saja detik melihatnya, aku menyadari bahwa ini video hasil generate AI. Dan benar saja di endingnya adalah adegan semakin tidak masuk akal di mana ular makan durian. Aku tertawa-tawa menontonnya dan meneruskan kepada temanku yang lain. Sial, dia justru percaya.


Susah payah aku menjelaskan kepadanya kalau itu hasil generate AI. Lalu dia bilang, 'Bagaimana bisa sedetail itu? sampai frame kamera trapnya juga persis?' Aku bingung harus menjelaskan dari mana karena tidak mungkin aku menjelaskan bagaimana input data, model, algoritma seperti yang kupelajari saat topik kuliah Data Spasial. Jadi aku katakan saja, 'Ya, itulah hebatnya AI sekarang'


Tapi jadinya, aku semakin sering ragu setiap kali melihat konten-koten berbasis video sekarang. Semua semakin terasa semu.


---------------------


Satu kali aku ditunjuk secara tiba-tiba sebagai MC pada acara yang diinisiasi oleh Boomer dan gen X. Lalu akupun bertanya 'Mana rundownnya?' dan tentu saja jawaban gas lighting, 'inilah anak sekarnag gak bisa berpikir cepat. Nanti kalau diburu pakai AI, AI, jadi gak bisa nalarnya jalan.' omel salah seorang dari penyelenggara sambil menuliskan secara kasar (bukan litteraly kasar, kayak sele-sele maksudnya) rangkaian acara dan menyerahkannya kepadaku. Aku menerima dengan senyum dan tiba-tiba ingin jahil lalu bilang; 'Terimakasih pak, izin saya rapikan pakai AI ya.'


Omelanpun jadi berlanjut, aku pun semakin semangat untuk membalas dengan usil,'Loh, ini sesuai intruksi Wapres loh pak. Dan saya sebagai bagian dari representasi anak muda seperti mas wapres, tentu mengikuti, pak'


Walhasil, aku membawakan rundown sesuai yang AI berikan lalu aku menjadi orang paling kaku dan bukan aku banget karena basa AI jelek banget. Berulang kali salah sebut nama pula. Ah... lengkap sudah. Benar-benar karma dibayar dimuka gara-gara keusilanku malah aku yang terkena batunya.


--------------------

Ada 8 milyar manusia di dunia ini dan AI tentu tidak bisa menjadi sesuatu yang baru, 'unik' dan 'otentik'. Yah dia akan meniru suara mayoritas, menyimpulkan semua data yang ada, jika pun bisa membuat suatu kebaruan, itu menurutmu, tentnu saja karena ada database diluar sana yang berpikir demikian.


Namun berikutnya, aku yakin AI akan menjadi lebih 'manusia'. Pelatihan-pelatihan respon data sudah banyak sekali. Bahkan penentuan kebijakan menggunakan AI terasa lebih 'netral' oleh sebagian khalayak. AI memang tak akan bisa menggantikan manusia sebagai user. Seperti dasarnya mesin, kalau tidak ada operator ya enggak bisa gerak. 


Sekarang tinggal melihat kemana arah policy untuk perkembangan AI ini. Para artist sudah banyak yang protes karena hak intelektual mereka dicomot AI seenaknya. Berikutnya pasti akan banyak kasus lain yang aku belum tau apa.


Seperti dulu perkembangan energi nuklir dan jenis alat ledak, itu tunggu ada korban radiasi dan efek jangka panjang baru mulai ketat regulasinya. 


Udah mau cerita itu aja. Ciao!

Posting Komentar

0 Komentar