Hai, Assalamualaikum.

Ini sudah cukup lama dan aku benar-benar rindu menulis. Sebenarnya sudah lama aku menahan diri untuk menulis soal ini. Yup, soal pendidikanku dan kini lulus strata satu.

Pertama, soal pendidikan aku tidak pernah ada ambisi apapun. Kalau nasib berkata aku tidak disekolahkan oleh orangtuaku, mungkin aku takkan ada rengekan atau meminta disekolahkan. Aku sekolah karena orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya ini. Aku tidak pernah pindah-pindah sekolah karena tidak cocok dengan lingkungan, guru, teman dan sebagainya. Hanya saja, SD, SMP dan SMA ku memang tidak pernah di tempat yang sama. Supaya pergaulanku luas kata orangtua ku. Ya bener aja, sekarang kalau mau ngadain acara aku kebingungan masalah undangan. Takut ada yang kelupaan diundang dan sedih. hehe.

Soal rangking juga, meski orangtua selalu ingin anaknya menempati posisi pertama, kenyataannya aku tidak pernah rangking satu. Kakakku selalu rangking 1. Aku hanya nangkring di 3 besar, kadang  5 besar. Pernah sekali waktu kelas 3 SD rangkingku anjlok ke rangking 13 karena sesuatu hal. Aku di ancam dipindahkan ke SD Negeri. Aku menangis karena dibentak, bukan karena ancaman pindah sekolah. Karena aku tidak mengerti apa bedanya sekolah swasta dan Negeri. Percayalah, anak yang hidup nyaman sejak kecil tidak akan memahami penderitaan orang tidak berada.

Meski aku berantem juga saat SD, tapi tidak sekalipun dalam pikiranku untuk pindah. Karena pilihan itu tidak pernah masuk dalam pikiranku. Saat SMP juga, cukup jauh jaraknya dari rumahku. Aku diantar jemput oleh ayah setiap harinya ke sekolah yang jaraknya 15Km dari rumah. Aku tidak pernah mengeluh sekalipun ingin pindah karena sekolahnya jauh, aku yang lelah di perjalanan. Engga pernah. 

Masuk SMA, aku yang ingin sekolah negeri. Mana aku mengerti ada sekolah negeri favorite. Waktu aku ikut ujian di SMAN 1, aku sakit perut akut saat tes terakhir. Karena aku tidak sanggup dengan tekanan peserta lain yang borjuis banget. Ada rasa tidak nyaman yang begitu besar saat aku masuk ke lingkungan sekolahnya. Dan hasil pengumuman keluar, sangat tidak masuk akal aku tidak lulus di TPA. sementara TOEFL dan TPU masuk 30 besar. guru-guru SMP heran, orangtua ku heran. Aku hanya diam dan tidak sedih. Karena ini bukan kegagalan milikku.

Aku masuk ke SMA negeri dekat rumah. Dan itu kali pertama orangtuaku tidak membayar uang sekolah untukku. Ada sih uang sekolahnya, tapi jumlah seper per per aduh kecil bangetlah dibanding SPP ku saat SMP dan SD. Bahkan kalau aku mau aku masih bisa bayar uang sekolahku sediri dari ngumpulin uang jajan. Tapi aku melihat masih ada teman-teman di SMA yang SPP dan uang bukunya nunggak.

Ibu ku sibuk ingin memindahkan ku ke MAN saat itu. Kalau tidak bisa ke MAN, minimal ke swasta. Aku hanya diam. Kalau memang mau pindah yaudah, kalau engga juga yaudah. Segitunya aku engga punya ambisi. Bahkan aku tidak memikirkan apakah berpengaruh ke masadepanku jika aku pindah atau tidak. Aku bilang pada ibu, sayang bajunya kalau pindah ke MAN. harus beli baju kurung dan rok kembang lagi. Sementara seragam SMA ku baju kemeja biasa dan rok sepan. Dan aku suka! karena sama kayak di novel teenlit.

Rujukan kehidupan SMA ku adalah Novel teenlit. Nakalnya juga terinspirasi dari teenlit. Bedanya, aku mampu menahan diri untuk engga pacaran aja.

Saat menentukan jurusan kuliah, aku bersikeras ingin arsitektur sebenarnya. Dan orangtuaku melihat sepakterjang kenakalanku saat SMA (oiya, nakal disini aku tetap rangking 3 besar selama SMA) kayak hopeless sepertinya. Terserah aku mau ambil jurusan apa. Meski pilihan kedokteran tetap ada. Tipikal orangtua Indonesia raya banget :)

Akhirnya aku mendesak untuk konsultasi ke Psikolog. Ditemani ayahku. Masa-masa sejak menentukan jurusan sampai aku selesai kuliah selalu ada Ayah.

Dan keluarlah pilihan itu, Biologi. Lulus jalur undangan pula. Bener-bener gaada perjuangannya diriku, modal hoki doang. Kata banyak orang saat itu.

2014, aku memulai kuliah dengan semangat. Karena laboratoriumnya banyak. Hal yang aku impikan sejak kecil. Setelah melewati 3 semester, aku baru menyadari bahwa laboratorium adalah neraka kecil.
Apa lantas dengan kesulitan ini aku ingin berhenti? enggak sama sekali. Temen-temen ada yang satu persatu mundur, ada yang masuk ke jurusan lebih baik lagi dan ada juga yang memang benar-benar enggak sanggup.

2017, tahun ketiga kuliah. Aku aktif di kepanitiaan sana-sini. Kuliah juga sudah mulai longgar. Semua terasa lega.

2018, ada acara besar yang aku tangani. Punya ruangan sendiri, merasakan trial dunia kerja untuk pertama kali. Bersama bang steven yang sedang mengejar beasiswanya. Sementara aku, ada satu mata kuliah yang kami semua, satu stambuk harus ambil karena kesalahan jurusan. Matkul bahasa Inggris. sembari itu, bang steven mengingatkan supaya aku jangan terlena dan segera seminar proposal. Dan bang steven, lulus beasiswa erasmus ke Finlandia.

2018 akhir ke Januari 2019. Penelitianku selesai. Sementara 2 orang dari angkatan ku gelombang pertama wisuda di November 2018. Aku, masih santai. Maret, aku malah ikut program training dari kantorku yang sekarang. Aku mulai terlihat melarikan diri dari kejenuhan dunia kampus. Jujur saja, yang membuatku jenuh bukan skripsiku, tapi sifatku yang People Pleaser banget. Aku senang ketika membantu banyak penelitian dosen atau membantu kepanitiaan. Tapi itu jadi mengenyampingkan urusan utama ku saat itu. Skripsi.

Aku ikut program training dan lulus sampai magang. Aku lantas tidak bisa membagi waktu. Aku melanglang buana keluar masuk hutan dan mengabaikan administrasi kampus.

Juli 2019, aku mengajukan untuk Seminar Hasil. Tiba-tiba dosen pendamping akademik yang sudah cukup tua dan sangat sensitif tidak mau menandatangi KRS ku. Artinya, tanpa KRS itu aku tidak bisa mendaftar. Alasannya sederhana, sudah lewat masa diskusi mata kuliah. Aku kelewatan 3 hari, karena banjir besar dan aku benar-benar tidak bisa keluar dari hutan tepat waktu saat itu. Aku menitipkan pesan pada temanku, dan dosenku ini kecewa kenapa aku tidak menghubunginya langsung.

Aku tidak berani mengatakan hal ini kepada dosen pembimbingku. Aku hilang timbul, beralasan bahwa hasil penelitianku belum cukup baik, ada data yang ingin aku perbaiki. 

Desember 2019 aku kembali menemui dosen pendamping setelah menceritakan masalahku ke dosen pembimbing. Beliau tetap tidak mau mengeluarkan izin untuk ku seminar hasil. Dengan alasan ada laboratoriumku yang belum lulus. Aku kaget, ini adalah alasan yang paling tidak masuk akal. Akhirnya setelah melewati proses administrasi yang cukup panjang dengan bantuan para staff kampus yang sudah baik banget denganku. Dan voila, ketahuan bahwa yang dimaksud belaiu belum lulus itu adalah NIM di atasku dimana orangnya sudah balik kampung dan tidak melanjutkan perkuliahannya lagi.

Akhirnya KRS ku ditandatangani dan aku Seminar Hasil usai libur panjang di awal Februari 2020. 

Dosen pembimbing dan penguji mendesakku untuk segera Sidang di bulan Maret. Akhirnya skripsiku di ACC di akhir februari dan Boom! Korona hadir, mengubah segalanya~

Lagi-lagi aku harus berjibaku dengan urusan administrasi yang serba baru di masa korona.

2 Juni 2020, aku sidang online. Dengan drama terlebih dahulu yaitu jaringan blackout lalu aku bersama kakakku yang sedang di Medan saat itu kami naik sepeda motor melawan arah di flyover Amplas menuju rumah Tulang (paman) yang manajer telkom sehingga kecil kemungkinan sinyal tidak lancar dirumahnya. 10 menit. Dengan jilbab yang sudah tidak karuan bentuknya, aku melanjutkan sidang dan dinyatakan lulus saat itu juga. Didampingi Kakak dan Nantulang (Tante) bersama para sepupu lainnya.


Wisuda? Wisuda?

Udah, nunggu offline aja. kata ibu ku. Sebenarnya aku bisa mengikuti wisuda Juli. Tapi online.

Akhirnya, aku dipaksa daftar oleh jurusan untuk wisuda periode 3 tahun ini. Setelah di undur-undur akhirnya wisuda onlineya jatuh pada tanggal 10 November.

Video yang sudah di upload sejak september, ditayangkan online di youtube dan saat ditayangkan posisiku kembali masuk ke dalam hutan :)

Usai sudah kisah yang satu ini dan mari kita mulai kisah yang baru. Prinsipku tetap sama, setiap hal yang aku mulai harus aku selesaikan sampai akhir. Apakah itu dengan cara berjalan, merangkat, ataupun merayap. Aku harus tetap bergerak menyelesaikankannya. Ini adalah tanggungjawab, ini adalah amanah. 



6 Tahun, waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan strata 1. Rasa kecewa ada, rasa sesal ada. Teman-teman menghiburku bahwa aku tidak sempat merasakan jadi pengangguran. Yah, disyukuri saja.  Apapun yang aku lakukan kedepannya, semoga terus bermanfaat bagi banyak orang. Amin.

Duh, gaji belum UMR nih.