Pertama, aku menghabiskan banyak waktu di Ramadhan kali ini di Hutan. Minggu pertama di rumah, minggu ke dua dan ketiga di hutan lalu 5 hari terakhir sebelum Lebaran aku baru kembali kermah kumpul bersama keluarga kecil kami. 

Ramadhan kali ini aku merasakan sedih bertubi-tubi. Sedih yang tidak hilang sampai lebaran tiba. Pertama, ini adalah kali pertama aku merasa sebagai minoritas. Kenapa? karena teman-teman dilapangan nyaris semua tidak berpuasa. Kata mereka tidak sanggup. Kalau sholat sih terkadang aku tidak bisa memaksa ya, walau sesekali ku ajak juga. Tapi ini puasa, bulan ramadhan, bulan di turunkannya Al-Qur'an, Bulan dilipat gandakan seluruh amalan baik kita, bulan istimewa yang kita selalu takut takkan bertemu Ramdhan berikutnya. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya. Amin.

Ada satu kali aku sahur sendirian. Di pagi buta, solar panel kami rusak, dengan bantuan senter handphone aku ke dapur bawah. Memanaskan nasi dan lauk. Makan sendirian, memutar lagu-lagu islami yang masih tersimpan di memori joox. Maklum, gaada sinyal. Aku memutar lagu islami agar ada terasa vibes Ramadhan.

Sekitar 5 hari di hutan, saat sore hari aku menyempatkan diri pergi ke desa terdekat. Mengajar ngaji anak-anak bersama Jeni, salah satu mahasiswa yang sedang pulang ke kampungnya dan membacakan dongeng untuk menularkan semangat membaca buku pada mereka. Dan orangtua Jeni juga menyambutku hangat dan menawarkan menginap di rumah mereka. Tentu saja aku senang, makanan terjamin, ada wifi dan listrik serta bisa ikut tarawih dan tadarusan di mesjid kampung itu. Masya Allah, sudah lama rasanya aku tidak ikut tarawih berjamaah. Karena tahun lalu aku full tarawih di rumah. menghindari Covid19.

Beberapa hari sebelum balik ke Medan aku mendapat kabar, 3 keluarga dari keluarga besar kami Positif Covid19. Beberapa harus menginap dirumah sakit. Aku lemas saat mendengar kabar itu. Jauh pikiran ku melayang bahwa kami tak bisa merayakan lebaran bersama. Padahal kali terakhir kumpul keluarga besar, sudah di wanti-wanti untuk menjaga kesehatan agar lebaran bisa kumpul di Siantar. Tapi manusia hanya bisa berencana. Allah yang menetukan.

Saat aku pulang ke rumah, kakak ku hari terakhir isolasi mandiri karena dia dari Jakarta beberapa hari lalu. Aku dengan percaya diri langsung menyalam kakak. Karena di pedalaman engga ada kasus Covid. Dan balik ke Medan pun kami pakai mobil kantor. Tapi, hari kedua di rumah aku kembali kedatangan tamu bulanan. Alamak, sudah pasti tidak bisa solat Ied Fitri. Aku langsung Nesu, kalau kata orang jawa. Ya aku memang udah nebak sih bakal kejadian begini, karena memang sudah jadwalnya. Jarang meleset -_- cuma ya.... huft. Aku jadi tidak bisa melanjutkan baca qur'an. Karena di hutan pun jadwal baca qur'an ku berantakan...

3 hari sebelum lebaran, dari kakakku, aku mendapat berita bahwa terjadi penggusuran di wilayah Sheikjarrah, Palestina. Allahu, Zionis berulah lagi. Hatiku entah kenapa langsung gundah. Saat kakakku membawakan acara dari komunitas Perempuan Palestina yang skala internasional, hatiku rasanya semakin sakit. Apalagi mendengar langsung narasumber asli dari Palestina. Rasanya dada ini tercabik-cabik.

Mungkin, salah satu pemicunya karena aku membeli beberapa barang baru untuk lebaran. Rasanya... aku masih punya banyak baju dan sepatu yang amat sangat layak pakai untuk di pakai berlebaran. Harusnya... dibanding aku belanja di tempat yang jangan-jangan men-support misil-misil dan senjata ke Israhell, aku bisa menyumbangkan seluruhnya untuk saudara-saudara di Palestina agar minimal mereka bisa menyantap hidangan lebaran dengan nikmat. 

Ampuni aku, ya Allah..

Hari lebaran tiba, aku hilang minat sudah untuk update status seperti kebiasaanku. Aku bangun pagi, siap-siap dengan memakai baju seragam yang sudah jauh hari di tempah ibuku. Meski tidak bisa sholat Ied, aku tetap ikut ke mesjid besar terdekat. Karena dulu, di lapangan simarito Siantar, kami yang tidak sholat bisa duduk-duduk di pinggir area sholat sambil menjaga adik-adik dan keponakan yang masih kecil-kecil sembari mendengar khutbah. Tapi apa yang kudapati tahun ini? ternyata hanya akulah satu-satunya orang aneh yang bingung cari tempat duduk sementara orang lain sudah menggelar sajadah dan pakai mukenah. Gaada orang yang ga sholat tapi datang ke mesjid. Gaada.

Kami pun pulang kerumah, Memakan Lontong dan Rendang yang semalam kami masak. Makanan sebanyak ini... kami hanya keluarga kecil dengan empat personil. 

Setelah makan, kami siap-siap berangkat ke rumah abangnya ayah, penderita diabetes yang sakitnya semakin parah. Dan, kami akan melewati perbatasan yang disekat. Eeh, ternyata kalau lewat tol gaada masalah. Jadi, mudik hanya pelik untuk orang-orang yang kantongnya sempit. Sedih sekali realita hidup jaman sekarang.

Aku melihat para orangtua yang dulu masih semangat bersenda gurau dengan kami, kini menatap sendu dan berlinang air mata.Takut, tahun depan tidak bertemu lagi. Sillaturahmi ini tak lagi mengalirkan tawa bahagia, tapi rindu tak berujung dan air mata khawatir tak berkesudahan.

Hari raya kedua, keluar hasil swab dari salah satu keluarga. Positif bertambah lagi, dan nantulangku yang punya bawaan sinusitis kondisinya memprihatinkan. Rumah sakit ternyata pada penuh. Aku heran, padahal berita kenaikan covid di Medan tidak terlalu heboh. Akhirnya, nantulang mendapat tempat di rumah sakit milik pelabuhan. Sedihku semakin bertambah.

Rasanya, untuk mengirim ucapan selamat lebaran aku enggak sanggup. Aku hanya membalas beberapa teman yang mengirim. Tak lupa menayakan kondisi kesehatan mereka dan keluarga serta mengingatkan untuk mendoakan saudara kita di Palestina.

Ibadah yang jauh dari maksimal, keluarga yang dilanda musibah dan Palestina yang semakin berdarah dan di jarah. Lalu, kemenangan apa yang aku rayakan di lebaran kali ini?

Wallahualam

#SaveSheikhJarrah
#FreePalestina