Berapa kali kesempatan di dalam hidupmu saat kau membuka mata dan melihat kunang-kunang melintas dan menari-nari indah dihadapanmu?

Aku terbangun diatas bilah dipan beralaskan ambal tipis, perlahan kudekatkan pergelangan tanganku yang terbalut jam tangan yang katanya waterproof, murah beli di pedagang kecil dekat kampus dulu. Kualitasnya boleh juga, masih bagus sampai sekarang setelah ku pakai sekian tahun dengan penggunaan di bawah air hujan, dipakai wudhu sampai berenang-renang di rawa-rawa. Ah, jam digital ini sudah menunjukkan waktu 05:04. Meski berbeda harga jam digital ini takkan mebuat waktuku didunia menjadi lebih panjang bukan?

Pelan kubuka pintu pondok kecil berlantai dua ini. Dibawah tangga berjejer kaki-kaki besar dari manusia-manusia yang hatinya begitu ikhlas mengalah untuk tidur diluar ditemani nyamuk-nyamuk gede dan montok. Sepertinya mereka terpaksa mengalah sih, apa kata orang kalau perempuan yang tidur diluar kan. hehe.

Langit masih gelap. Ya kalo terang bukan waktu subuh lagi namanya. Udah dhuha itu. Meski angin dingin membelai wajah ku tak menyurutkan niat ku untuk ke kamar mandi yang berjarak sekitar 7 meter dari pondok. Udah kebelet cuy.

Balik ke pondok, akupun shalat dikamar dan tak sengaja arah kiblat mengarah pada temanku yang masih tidur. Meski dia selalu kesal tak kubangunkan untuk bergeser saat aku shalat, ku katakan saja hitung-hitung latihan perasaan saat di shalatkan kelak. hehe.

Langit masih gelap, alarm seseorang yang menjerit-jerit tapi pemiliknya tidak kunjung bangun membuatku takada niat untuk tidur lagi. Yah, mengaji mungkin bisa membangunkan hati mereka mereka yang belum sadar betapa pentingnya mendirikan shalat 5 waktu. Itung-itung kalau ada setan dipondok ini juga ngacir. Jin boleh la tinggal, Tapi yang shaleh dan sholihah aja ya. 

Bukan masalah dikatakan sok alim atau sok suci karena ku sudah kebal oleh persoalan itu sejak jaman baheula dulu. Sekarang, menghadapi orang-orang desa tentu lebih mudah bagiku. Seharusnya. Tapi ternyata tidak.

Baiklah, perut kekotaan ku sudah menggeliat manja mendekati jam biologisnya. Sudah saatnya aku memasak air untuk menyeduh bubuk coklat dari negeri jiran yang terkenal. Sisanya entahlah siapa yang mau membuat kopi atau teh di pagi hari. Yang penting masak air dulu.

Pakde, lelaki paruh baya yang menjadi panutan di pondok ini. Sosok yang ramah dan bersahaja. Kami pun membantu Pakde menyiapkan sarapan. Sekadar mengupas bawang ataupun memotong cabe. Yah, kadang-kadang kami yang sepenuhnya memasak ketika lagi ingin.

Jam 9, usai sarapan bersama kami pun bersiap-siap untuk bekerja. Bukan sesuatu hal yang berat karena kewajibannya hanya mengambil dokumentasi dan menerima laporan dilapangan. Tapi jiwa-jiwa kami masih anak muda yang sangat aktif, tentu kami ikut membantu mencangkul, memacak bahkan mencoba mesin babat.

Dengan sepatu boot, tas ransel kecil berisi air minum, topi lapangan, dan parang masing-masing di tangan kami pun merangsek masuk kedalam hutan sekunder yang pertumbuhannya cukup cepat karena strategi tanam yang hebat oleh seseorang. Dan inilah yang kami lakukan, memperlebat lahan puluhan hektar ini agar segera menyamai pertumbuhan hutan primer. 

Berharap, satwa-satwa akan kembali dan berkembang biak di wilayah Taman Nasional ini.

Disinilah kami, di lokasi Restorasi Cinta Raja 3.